Ini Jurus Pemerintah Menekan Lamanya Dwelling Time

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 04 Februari 2016 | 21:45 WIB
Ini Jurus Pemerintah Menekan Lamanya Dwelling Time
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Indonesia, Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (22/11). [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah segera menerapkan layanan berbasis manajemen risiko untuk mempercepat waktu bongkar muat hingga keluar pelabuhan atau "dwelling time" dan memperkuat daya saing dunia usaha Indonesia.

"Penerapan layanan ini akan mempercepat arus barang ekspor impor dan memberikan kepastian bagi pengusaha bahwa risiko yang timbul menjadi tunggal," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi di Jakarta, Kamis (4/2/2016).

Heru menyampaikan hal tersebut dalam acara Asosiasi Perusahaan Jalur Prioritas (APJP) yang dihadiri Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Edy Putra Irawady serta Staf Ahli Bidang Organisasi Birokrasi dan Teknologi Informasi Kementerian Keuangan Susiwijono.

Heru menjelaskan layanan berbasis manajemen risiko merupakan bagian dari sistem portal integrasi Indonesia National Single Window (INSW) yang nantinya memberikan perlakuan yang sama bagi perusahaan dalam pelayanan ekspor impor.

Selama ini perusahaan masih mengalami perlakuan yang berbeda-beda dari 15 Kementerian Lembaga yang terkait dengan ekspor dan impor dalam mengurus dokumen yang terdiri atas 18 unit perizinan, sehingga memperlama waktu pelayanan di pelabuhan.

Dengan adanya layanan berbasis manajemen risiko ini, maka setiap perusahaan yang mendapatkan kemudahan di satu instansi tidak lagi dipersulit di instansi lainnya, dan mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga proses pelayanan ekspor dan impor menjadi lebih cepat.

"Risiko yang melekat pada ekspor impor tidak lagi dikelola masing-masing KL tapi dikelola bersama, jadi kalau selama ini bea cukai, BPOM, badan karantina punya mitigasi dan manajemen risiko sendiri, maka kedepan risikonya dikelola bersama yaitu risiko pemerintah Indonesia," kata Heru.

Menurut dia, sistem layanan ini juga bisa meningkatkan pengawasan melalui integrasi informasi risiko sehingga kelemahan yang mungkin timbul dari satu kementerian lembaga dapat ditutupi oleh informasi risiko dari kementerian lembaga lainnya.

"'Stakeholder' yang masuk dalam kategori 'low risk' akan mendapatkan pelayanan dan fasilitas khusus dari kementerian lembaga. Sebaliknya 'stakeholder' dengan kategori 'high risk' akan mendapatkan pelayanan dan fasilitas lebih ketat," jelas Heru.

Heru menjelaskan ada tiga tahapan menuju penerapan layanan manajemen risiko secara utuh, yaitu adanya pelaksanaan single stakeholder information untuk standarisasi kriteria pada April 2016 dan single stakeholder profile untuk memetakan profil risiko perusahaan paling lambat pada semester I-2016.

Serta, penerapan single integrated risk management paling lambat berfungsi efektif pada semester I-2017 agar sistem ini bisa operasional sepenuhnya dan mempercepat waktu "dwelling time" yang saat ini masih dirasakan terlalu lama.

"Dengan adanya layanan, maka Indonesia siap berkompetisi dengan negara lain. 'Dwelling time' yang saat ini tiga hari menjadi 1,6 hari, sesuai instruksi Presiden, tanpa manajemen risiko, rasanya sulit tercapai," ujar Heru.

Ketua Umum APJP Made Dana Tangkas mendukung upaya pemerintah untuk menerapkan kebijakan berbasis manajemen risiko dan mendorong otomasi pelayanan, karena dampaknya bisa meningkatkan daya saing usaha dalam menghadapi tantangan ekonomi global.

"Ini bisa memberikan kepastian sekaligus keuntungan bagi pelaku usaha, karena perusahaan jalur prioritas mempunyai perlakuan berbeda dengan jalur merah yang harus melakukan cek fisik. Namun, untuk menjadi jalur prioritas, perusahaan harus memenuhi kriteria yang ketat," ujar Made.

Ia mengatakan pemanfaatan layanan manajemen risiko juga bisa menjadi momentum dalam menjalankan kegiatan bisnis dengan lebih efisien dan menguntungkan karena perusahaan menjadi patuh dengan aturan yang berlaku.

Sebagaimana diinformasikan sebelumnya, dweeling time menjadi persoalan serius dalam ekonomi Indonesia. Lamanya dweeling time dianggap mengganggu proses bisnis yang ada di Indonesia. Akibatnya daya tarik untuk investor asing menjadi berkurang dan daya saing dunia usaha Indonesia lebih lemah dibandingkan negara lain.

 Pangkal masalah lamanya dweeling time adalah lamanya perizinan. Kondisi ini tak lepas dari fakta sebelumnya bahwa ada 18 kementerian yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin di Pelabuhan. 

Lamanya dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta bahkan menuai kemarahan dari Presiden Joko Widodo. (Antara)

REKOMENDASI

TERKINI