Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani melontarkan kekhawatirannya atas Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minol). Menurutnya, pelarangan minuman beralkohol dari produksi hingga konsumsi akan meningkatkan peredaran miras ilegal dan konsumsi oplosan.
“Jika dilarang, yang terjadi malah miras ilegal beredar di hotel. Ini berdampak pada reputasi,” katanya saat menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) PHRI dan Pansus RUU Minol di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (3/2/2016).
Sukamdani memandang, sebenarnya konsep pelarangan tidak dibutuhkan terkait pengaturan minol. Menurutnya, hal terpenting justru penegakan dan pengawasan yang selama ini tidak tercermin dalam mengendalikan peredaran miras ilegal dan oplosan sehingga memakan korban dan berpengaruh pada citra pariwisata Indonesia.
“Pengendalian dan pengawasan di lapangan belum cukup baik sehingga konsumsi oplosan yang berpengaruh pada sektor pariwisata karena ada oplosan yang di packaging mirip minuman resmi. Belum ada tindakan nyata pemerintah,” ungkapnya.
Di lain pihak, Ketua Harian Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengamini apa yang menjadi kekuatiran dari PHRI. Tulus malah mencontohkan pengalamannya atas peredaran oplosan yang mengkuatirkan.
“Saya punya banyak kawan di kampung meninggal. Minum dicampur obat nyamuk. Ya, itu racun, pestisida, diminum, ya matilah,” kata Tulus.
YLKI secara khusus memberikan masukan kepada Pansus RUU Larangan Minol agar memperhatikan dan menegakkan UU Cukai secara konsisten dibandingkan harus mengadopsi konsep larangan. Hal ini agar pengaturan di sektor minol bisa diterapkan dengan efektif.
“Barang yang kena cukai seharusnya aksesnya dipersulit agar dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Rekomendasi YLKI, sekalipun ini dilarang, dalam konteks implementasi, RUU Larangan tidak menjadi implementable,” jelasnya.