Perhutani Akui Pesisir Selatan Jatim Sangat Rawan Pembalakan Liar

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 31 Januari 2016 | 23:20 WIB
Perhutani Akui Pesisir Selatan Jatim Sangat Rawan Pembalakan Liar
Kayu hasil pembalakan liar yang melanggar hukum [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perum Perhutani mengakui kawasan hutan produksi maupun hutan lindung di pesisir selatan, mulai dari Malang selatan hingga Tulungagung sangat rawan pembalakan liar.

"Luas wilayah dengan jumlah personel polisi hutan perhutani tidak sebanding, sehingga pengawasannya pun tentu tidak bisa optimal," kata Kepala Divisi Humas dan Agraria Perum Perhutani KPH Blitar, Heri Purwanto di Blitar, Jawa Timur, Minggu (31/1/2016).

Ia menjelaskan, di tingkat KPH Blitar saat ini hanya memiliki 12 personel polisi hutan mobil (polhutmob).

Sementara, lanjut dia, luasan hutan yang ada di bawah pengawasan KPH Blitar mencapai 57 ribu hektare, terbentang mulai dari daerah Kalipare, Malang hingga Popoh, Tulungagung.

Menurut Heri, ketimpangan antara jumlah personel dengan luasan wilayah hutan yang begitu luas tersebut membuat komposisi perbandingan tanggung jawab pengawasan dan pengamanan hutan setiap polhutmob tidak ideal.

"Dua belas personel menjaga 57 ribu hektare sekaligus, sama artinya satu personel bertugas menjaga wilayah seluas 4.750 hektare. Ini sangat tidak ideal," ujarnya.

Heri lalu mencontohkan sistem pengawasan dan pengelolaan hutan negara oleh Perhutani di RPH Panggungkalak, Kecamatan Pucanglaban yang memiliki luas sekitar 3.500 hektare.

Di areal wilayah yang terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung tersebut, perhutani hanya menempatkan tiga personel yang terdiri dari satu orang mantri hutan dan dua mandor.

"Keterbatasan personel sementara harus menjaga wilayah seluas itu, ya 'pie maneh' (bagaimana lagi)," ujar Heri memberi gambaran riil di lapangan.

Solusi yang ditawarkan Perhutani melalui mekanisme pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) menurut Heri, sebenarnya sudah cukup solutif dalam menekan risiko pembalakan kayu hutan secara liar oleh oknum-oknum masyarakat.

Petani di dalam kawasan hutan yang diistilah sebagai pesanggem (petani penggarap) diberi keleluasaan untuk mengolah lahan hutan di bawah tanaman tegakan milik perhutani yang masih muda.

Syaratnya, pesanggem harus ikut bertanggung jawab bersama perhutani untuk menjaga agar tidak lagi terjadi pembalakan atau pencurian kayu hutan oleh masyarakat.

Namun konsep pengamanan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ini pun tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan perhutani.

"Kami akui masih ada, bahkan banyak pesanggem yang nakal karena ketika diberi keleluasaan mengelola lahan hutan di bawah tanaman tegakan, ada saja yang mengganggu tegakan agar tidak tumbuh dengan baik sehingga lahan di bawahnya tetap bisa mereka olah," ungkapnya.

Sebagai langkah solusi, perhutani hanya bisa melakukan pembinaan dengan mengefektifkan fingsi LMDH (lembaga masyarakat desa hutan) guna mengontrol para anggotanya dalam melindungi hutan.

"Silahkan memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Tapi 'wite ojo diketok, ojo dicolong' (tanaman tegakannya jangan ditebang, jangan dicuri), karena tanaman pokoknya pun nanti kalau panen petani juga mendapat sharing/bagian," kata Heri.

Sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan aktivitas pembalakan liar di hutan Indonesia bisa disamakan dengan kegiatan terorisme. Oleh sebab itu ia meminta seluruh jajaran kementeriannya untuk berkomitmen penuh dalam memberantas penebangan kayu ilegal di seluruh hutan di Indonesia. 

Sesuai Pasal 50 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setiap orang dilarang untuk merambah kawasan hutan, dan jika melanggar akan dikenakan hukuman penjara paling lama 10 tahun ditambah denda Rp 5 miliar. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI