Suara.com - Pengamat Kawasan Perdagangan Bebas Pelabuhan Bebas Abdullah Gose menyatakan pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) atau Kawasan Perdangangan Bebas di Batam Kepulauan Riau gagal akibat salah manajemen.
"Ada tiga penyebabnya, manajemen, kepemimpinan dan kurangnya lobi," kata Abdullah Gose melalui sambungan telepon di Batam, Sabtu (16/1/2016)
Pada 2006-2007, Abdullah Gose bersama Gubernur Kepulauan Riau kala itu, Ismeth Abdullah memperjuangkan payung hukum untuk FTZ, hingga lahir UU FTZ. Karenanya dia kecewa dengan pelaksanaan FTZ beberapa tahun terakhir.
Ia mengatakan sejak 2007 hingga 2014, peningkatan investasi di Batam hanya tujuh persen, jauh dari yang diharapkan.
Menurut dia, seharusnya laju perekonomian Batamm melaju pesat, setelah ditopang payung hukum, serta dukungan dana ganda dari pemerintah, melalui Pemkot Batam dan BP Kawasan Batam.
Ia melihat setelah Ismeth Abdullah tidak lagi memimpin Kepri, investasi di Batam menurun.
"Tidak ada lagi pejabat daerah yang jago melobi pusat untuk kepentingan investasi," kata dia.
Akibatnya, FTZ Batam tidak terlalu populer di Jakarta. Sejumlah aturan yang dikeluarkan pemerintah pun tumpang tindih dengan aturan FTZ.
Misalnya saja pembatasan impor yang diberlakukan secara nasional. Seharusnya Batam mendapatkan keistimewaan sebagai kawasan perdagangan bebas.
Namun realitanya pemerintah pusat tetap memperketat impor di kawasan perdagangan bebas itu.
Ia sepakat dengan pemerintah yang melakukan evaluasi pada penerapan FTZ di Batam.
Namun, Gose meminta pemerintah tidak mencari kambing hitam atas kegagalan FTZ di Batam, melainkan mencari celah baru untuk mengembalikan kejayaan pulau itu.
"Kenapa tidak signifikan. Kenapa? Ada sesuatu yang tidak dinamis. Sudah berapa kali Menko Perekonomian datang ke Batam untuk mencari tahu. Jangan mencari kambing hitam," kata dia.
Mengenai hubungan Pemerintah Kota dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam, menurut dia sejak awal memang sangat rentan.
Hubungan dua institusi itu empat sangat kompak di sekitar tahun 2007, saat keduanyanya dimediasi oleh DPRD Batam, kala dipimpin Soerya Respationo.
Namun, sayangnya hubungan itu tidak terjaga.
Sebelumnya,Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga yang juga Penjabat Gubernur Kepri, Nuryanto, meminta BP Kawasan dan Pemkot Batam saling berbagi peran dalam mengelola kota industri.
"Diharapkan BP Batam bisa bersinergi dan berbagi. Tinggal kamu peran apa, saya apa, itu yang paling penting," kata dia.
Ia mencontohkan pembagian peran pada pengelolaan izin reklamasi yang terkesan diperebutkan BP Kawasan dan Pemkot Batam. Seharusnya batas kewenangan yang tegas agar untuk menghindari perselisihan.
Dan yang paling penting, adalah kedua institusi itu mengutamakan kepentingan rakyat.
"Untuk apa bertikai," kata dia. (Antara)