Suara.com - Bank Indonesia memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan pada akhir 2016 akan melebar ke rentang 2,5 hingga 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto, di antaranya, karena dipicu terkereknya laju impor untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung di Jakarta, Kamis (14/1/2016), mengungkapkan sebenarnya impor barang modal dan bahan baku untuk pembangunan infrastruktur sudah terlihat dan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan pada akhir 2015.
Namun, otoritas moneter masih mempertahankan proyeksi defisit neraca transaksi berjalan 2015 di 2 persen dari PDB, lebih baik dibanding realisasi 3,1 persen dari PDB pada 2014.
"Tapi impor untuk barang produktif, Tidak apa-apa. Memang keliatan dari barang modal yang sudah naik," ujarnya.
Peningkatan dari 2 persen ke 2,7 persen tersebut juga dipicu keyakinan BI akan derasnya investasi masuk ke industri domestik. Sehingga industri memiliki kapasitas permodalan yang cukup untuk melakukan ekspansi.
Juda menilai defisit transaksi berjalan 2,5-2,7 persen dari PDB masih di rentang yang cukup "sehat".
"Kenaikan defisit masih cukup sehat dibawah 3%," ujarnya.
Di akhir 2015, BI melihat penurunan defisit secara drastis dibanding 2014, karena aliran surplus dari transaksi modal dan finansial.
Aliran modal dan dana yang masuk ke dalam negeri, mennurut Juda, meningkat didorong agresifnya investasi portofolio pada obligasi pemerintah di paruh terakhir 2015, termasuk dengan penerbitan "Global Bond", dan investasi lainnya.
"Ini pula yang membuat neraca pembayaran Indonesia (NPI) akhir 2015 membaik," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara.
Sementara, kalangan ekonom juga memprediksikan pelebaran defisit transaksi berjalan tahun ini di kisaran 2 persen terhadap PDB. Namun, selain peningkatan impor barang modal dan bahan baku, para ekonom juga melihar daya ekspor masih lesu.
"Memang membesar, saya perkirakan ke 2,0 persen dari PDB, dari (perkiraan) 2015 sebesar 1,8 persen dari PDB," kata Ekonom Senior Kenta Institute Eric Alexander Sugandi.
Dari kajiannya, Eric menilai, kebutuhan pembangunan infrastruktur dan sektor lain sepanjang 2016 akan mengerek laju impor hingga 160 miliar dolar AS pada akhir tahun, di mana 83 persennya merupakan impor non-minyak dan gas bumi (migas) sebesar 134 miliar dolar AS.
Sementara ekspor tetap tumbuh, meskipun tidak signifikan. Eric memprediksi nilai ekspor menjadi 172 miliar dolar AS pada akhir 2016 dari perkiraan 166 miliar dolar AS 2015. Dengan demikian, neraca perdagangan 2016 diprediksi Eric surplus 12 miliar dolar AS.
Namun, surplus tersebut tertekan paling besar oleh defisit neraca pendapatan primer yang diperkirakan mencapai 27 miliar dolar AS, dan neraca jasa yang defisitnya stagnan dengan 2015 di kisaran 8 miliar dolar AS. Untuk neraca pendapatan sekunder, dia memprediksi surplus akan bertahan sama dengan 2015 sebesar 5 miliar dolar AS.
(Antara)