Pengamat: Pemerintah Sebaiknya Tak Usah Beli Saham Freeport

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 14 Januari 2016 | 19:06 WIB
Pengamat: Pemerintah Sebaiknya Tak Usah Beli Saham Freeport
Front Garuda Merah Putih melakukan aksi unjuk rasa di depan istana Wakil Presiden, Jakara, Rabu (13/1) menolak perpanjangan KK Freeport [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan walaupun PT Freeport Indonesia telah menawarkan saham divestasinya, sebaikanya Pemerintah Indonesia tidak usah melanjutkan pembelian sahamnya.

"Kita bukan tidak setuju investasi asing. Tetapi pengelolaan kekayaan alam yang sangat besar harus dipastikan mampu dikelola secara maksimal oleh Indonesia," kata Marwan saat dihubungi oleh Suara.com, Kamis (14/1/2016).

Marwan menegaskan jika pemerintah berani memutuskan untuk tidak memperpanjang Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia setelah habis tahun 2021, pemerintah bisa mempersiapkan BUMN pertambangan yang sudah dikonsep dengan skema holding.

"Kalaupun tidak mampu dikelola BUMN 100 persen, bisa mengundang investor asing lain untuk berpartner. Namun pemegang saham pengendali (PSP) tetap ditangan kita pihak Indonesia," ujar Marwan.  

Namun jika pemerintah berani memutuskan tak membeli saham divestasi Freeport dan tak memperpanjang KK, Pemerintah Indonesia harus menyatakan secara resmi dan tertulis. Supaya pihak PT Freeport Indonesia tidak menjual sahamnya melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) dan malah dibeli oleh Freeport McMoran, induk usahanya asal Amerika Serikat. "Karena kalau sampai itu yang terjadi, akan menjadi sulit bagi pemerintah Indonesia untuk tidak memperpanjang KK," tutup Marwan.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, PT Freeport Indonesia (PTFI) telah menyampaikan penawaran nilai sahamnya terkait kewajiban divestasi. Penawaran tersebut disampaikan Freeport secara resmi kepada Menteri ESDM Sudirman Said pada Rabu (13/1/2016).

"Mereka telah menawarkan sahamnya yang sesuai dengan kewajiban 10,64% senilai US$ 1,7 miliar," kata Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (14/1/2016).

Namun Bambang menegaskan harga yang ditawarkan oleh Freeport belum final.  Pemerintah akan kembali mengevaluasi nilai saham yang ditawarkan Freeport tersebut. Evaluasi itu dilakukan oleh tim lintas instansi. Selain itu, pemerintah akan menunjuk penilai saham independen yang juga akan menghitung saham Freeport. Barulah etelah itu pemerintah bertemu tim Freeport untuk menyepakati harga saham. Kemudian diputuskan berdasarkan persetujuan para pihak.

Kewajiban divestasi Freeport mengacu ke Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan batubara sebesar 30%.

Pasalnya, dalam beleid itu mengatur tiga jenis kategori divestasi. Jika perusahaan tambang milik asing hanya melakukan kegiatan pertambangan, maka besaran divestasinya sebesar 51%.

Kemudian jika perusahaan tambang itu melakukan kegiatan penambangan dan terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian, maka divestasinya sebesar 40%. Dan, apabila perusahaan itu melakukan kegiatan tambang bawah tanah (underground), divestasinya 30%.

Divestasi itu pun dilakukan bertahap. Pada tahun ini Freeport wajib melepas 20% saham dan pada 2019 sebesar 10% saham. Lantaran pemerintah sudah memiliki 9,36% saham, maka tahun ini divestasi sebesar 10,64%.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI