Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dinilai Cuma Alat Diplomasi Bisnis

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 11 Januari 2016 | 19:28 WIB
Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dinilai Cuma Alat Diplomasi Bisnis
Kereta cepat di Tianjin, Tiongkok [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Proyek kereta api cepat (high speed tradin/HST) Jakarta-Bandung dinilai hanya menjadi alat diplomasi antara Indonesia dan Tiongkok dalam mengejar prospek bisnis yang lebih panjang kedua negara.

"Proyek infrastruktur kereta cepat buatan China (Tiongkok) bisa jadi pintu pembuka untuk proyek lainnya. Pembangunan itu diyakini sebatas komoditas dalam hubungan bilateral Indonesia-China," kata Direktur Eksekutif Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC) Harun Alrasyid Lubis, di sela diskusi "Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Kebutuhan atau Pencitraan?", di Jakarta, Senin (11/1/2016).

Menurut Harun, sejak awal perencanaan kereta api cepat Jakarta-Bandung sepanjang sekitar 150 km sudah terjadi semacam polemik di sejumlah kalangan, apakah menggunakan teknologi Jepang atau Tiongkok.

Hal itu selain dengan teknologi, juga dikaitkan dengan pendanaan yang menelan biaya hingga sekitar Rp70 triliun.

"Sebelum China resmi ditunjuk sebagai pihak yang membangun proyek tersebut, ada kompetisi dengan Jepang. Bahkan sempat dibanding-bandingkan dengan teknologi dari Eropa," ujarnya.

Namun, khusus Tiongkok, saat ini memang cukup menguasai pangsa pasar kereta cepat di sejumlah benua.

"Jepang-China memang bersaing. Meskipun Tiongkok baru berkisar 10 tahunan, Jepang lebih dari 25 tahun, namun separuh jaringan kereta api cepat dunia dari Tiongkok, 16.000 kilometer," ujarnya.

Harun yang juga Dosen ITB ini menambahkan, melemahnya laju perekonomian tiongkok membuat adanya kelebihan kapasitas produksi. Mereka lalu mengirim konsultan ke beberapa negara untuk mengerjakan proyek infrastruktur.

"Dan suasana ekonomi menurun di China. Mereka punya kapasitas besar, produksi mereka, mereka kirim konsultan termasuk ke Indonesia," ucapnya.

Menurut catatan, proyek kereta api cepat secara resmi direncanakan akan dimulai pembangunannya pada pertengahan Januari 2016.

Proyek kereta cepat akan dibayai sebagian besar oleh China Development Bank (CDB) dengan skema pembagiannya 75 persen CDB, dan sisanya ekuitas dua perusahaan konsorsium dari PT Pilar Sinergi BUMN dan PT China Railways International Co, Ltd.

Pembangunan bisa dimulai awal tahun 2016 dan ditargetkan selesai pada 2018.

Dengan skema perusahaan patungan di PT Pilar Sinergi BUMN terdiri atas empat perusahaan BUMN. Dalam pembagiannya PT Wijaya Karya mendapat jatah ekuitas 38 persen, PT Jasa Marga 12 persen, PT KAI 25 persen, dan PT Perkebunan Nusantara VII 25 persen.

"Semuanya mengklaim sudah siap. Dari sisi pendanaan, harus ada kontrak yang jelas antara korporasi, pengembang dan pemerintah. Urusan infrastruktur itu hanya ada dua, 'cost' (biaya) dan risiko," tuturnya.

Menurut Harun, siapaun yang mengelola, apakah swasta, pemerintah maupun gabungan antara keduanya, harus bisa dibuktikan adanya efisiensi biaya.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung setelah rapat terbatas dengan topik kereta api cepat yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden Jakarta, Senin (4/1/2016), mengatakan Kepala Negara menekankan seluruh proses perizinan untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung segera dirampungkan sehingga 21 Januari 2016 bisa dilakukan peletakan batu pertama.

(Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI