Suara.com - Pengamat energi Fabby Tumiwa meminta Presiden Joko Widodo memilih skema gas alam cair terapung atau "floating liquified natural gas" (FLNG) untuk mengembangkan Lapangan Abadi, Blok Masela di Laut Arafura, Maluku.
"Berbagai kajian ilmiah sudah dilakukan pemerintah yang menghasilkan opsi FLNG merupakan skema terbaik pengembangan Masela dibandingkan darat (onshore). Presiden sudah selayaknya mengambil opsi FLNG itu," ujarnya di Jakarta, Kamis (7/1/2016).
Menurut dia, jangan sampai berbagai studi tersebut dikalahkan rekomendasi "onshore" yang belum didukung kajian teknis seperti disampaikan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli.
Dalam waktu dekat, Presiden Joko Widodo akan memanggil kontraktor Masela yakni Inpex dan Shell sebelum memutuskan opsi pengembangan Masela apakah memakai skema terapung (FLNG) atau darat (onshore).
Fabby mengatakan, pada 2010, studi atas permintaan pemerintah yang dilakukan konsorsium perguruan tinggi seperti ITB, ITS, UGM, dan UI serta konsultan menghasilkan opsi FLNG lebih baik dibandingkan darat.
Hasil kajian pada 2010 itu kemudian menjadi dasar penerbitan rencana pengembangan (plan of development/POD).
Lalu, lanjutnya, pada 2015, kajian kembali dilakukan oleh konsultan independen yang juga atas permintaan pemerintah.
"Hasilnya sama saja, bahwa FLNG adalah opsi terbaik," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) itu.
Kemudian, dari sisi pengembangan wilayah, menurut Fabby, hasil kajian LPEM UI juga menunjukkan opsi FLNG akan memberikan manfaat ekonomi lebih baik bagi Indonesia dan Maluku khususnya.
"'Multiplier effect' dari pilihan FLNG justru akan jauh berdampak positif bagi pengembangan industri maritim Indonesia dan industri pendukungnya yang sesuai Nawacita Presiden Jokowi," katanya.
Ia juga mengingatkan, kalau memakai opsi darat, maka akan berdampak pada keterlambatan pengembangan Masela.
"Kalau Masela terlambat, dampaknya tidak saja kesempatan pendapatan negara yang hilang, namun ketahanan energi berupa pasokan gas ke dalam negeri bakal terancam," katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, apapun dinamika yang terjadi, pemerintah harus memastikan Masela bisa berproduksi sesuai jadwal yang sudah dibuat berdasarkan kajian ilmiah oleh kontraktor dan Kementerian ESDM.
Fabby menambahkan, "multiplier effect" dan pengembangan kewilayahan adalah tanggung jawab pemerintah, dan karena itu jangan dibebankan kepada investor.
"Tugas investor adalah membawa uang, teknologi, keahlian, sampai minyak atau gasnya berproduksi," ujarnya.
Sebelumnya, mantan Deputi Perencanaan SKK Migas Aussie Gautama mengatakan, penundaan pengembangan Blok Masela dapat menimbulkan kehilangan kesempatan pendapatan negara hingga empat miliar dolar AS per tahun.
(Antara)