Suara.com - Koordinator Tim Advokasi Skandal Laut Timor Frans Dj Tulung SH mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membekukan seluruh aset dan izin operasi PTT Exploration and Production Public Company Pty.Ltd (PTTEP) di Indonesia.
Pasalnya, kata Frans kepada pers di Kupang, Rabu (30/12/2015), perusahaan minyak asal Thailand itu, sampai saat ini belum mempertanggungjawabkan semua kerugian ekonomi dan ekologis yang diderita masyarakat pesisir Nusa Tenggara Timur menyusul tragedi meledaknya anjungan minyak Montara yang mencemari seluruh wilayah perairan Laut Timor pada Agustus 2009.
"Kami sudah mengirim somasi kepada Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Sudirman Said pada Jumat (11/12/2015) untuk segera membekukan seluruh aset dan izin operasional PTTEP di Indonesia. Namun, menjelang akhir tahun 2015, kami mendesak kembali agar pemerintahan Presiden Joko Widodo segera mengambil tindakan tegas atas perusahaan tersebut," katanya menegaskan.
Dalam surat somasi tersebut, Tim Advokasi Skandal Laut Timor memberikan waktu selama 30 hari kerja kepada Menteri ESDM terhitung sejak tanggal somasi diterbitkan agar segera melakukan koordinasi dengan Kepala SKK Migas guna melakukan eksekusi terhadap PTTEP yang lari dari tanggungjawab atas tragedi maha besar di Laut Timor menyusul meledaknya anjungan Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
"Kondisi inilah yang mendorong kami untuk mendesak kembali pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil tindakan hukum atas perusahaan milik Pemerintah Thailand itu," ujarnya.
Ia mengatakan selama tenggat waktu hampir tujuh tahun lamanya ini, pihaknya telah mengirim surat "Claim of Research" kepada PTTEP dan Pemerintah Federal Australia pada September 2010, namun tidak pernah ditanggapi juga.
"Berbagai bentuk komunikasi sudah kita bangun, baik lisan maupun tulisan dengan PTTEP sejak 2011, namun tidak pernah ditanggapi secara serius, kecuali janji-janji palsu. Perusahaan tersebut malah menghindar dan lari dari tanggungjawabnya," kata Frans menegaskan.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga melakukan surat-menyurat dan mengadakan pertemuan dengan PTTEP, namun klaim dari Pemerintah Indonesia selalu berakhir tragis akibat tidak konsistennya PTTEP dalam menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai, malah memberikan informasi palsu kepada Pemerintah Federal Australia agar bisa menghindari dari tangungjawabnya atas malapetaka di Laut Timor itu.
Hasil pertemuan terkini antara perwakilan masyarakat korban dan Kementerian Luar Negeri Australia di Canberra pada Agustus 2015, kata dia, perusahaan minyak tersebut telah menyatakan kesediaannya untuk menghubungi masyarakat korban dan Pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus tersebut.
"Namun apa yang terjadi, PTTEP tetap saja tidak pernah memenuhi janji-janjinya. Atas dasar itu, demi integritas dan harga diri bangsa, kami memandang penting mengajukan somasi tersebut, dengan satu harapan agar Pemerintahan Presiden Joko Widodo sesegera mungkin membentuk aset dan izin operasional perusahaan tersebut di Indonesia," demikian Frans Dj Tulung.
Sebagaimana diketahui, pencemaran minyak itu terjadi akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009. Hampir 80 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar, yang mengakibatkan usaha budidaya rumput laut di wilayah pesisir gagal total dan hasil tangkapan nelayan pun turun drastis.
Para petani rumput laut di wilayah pesisir kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi korban dari pencemaran tersebut. Para nelayan NTT yang telah menjadikan Laut Timor sebagai "ladang kehidupannya" juga ikut menderita, karena hasil tangkapannya juga menurun setelah wilayah perairan tercemar minyak mentah dari Montara.
(Antara)