Suara.com - Pemerintah berencana/memutuskan akan memungut dana ketahanan energi pada masyarakat sebesar Rp 200 per liter harga bahan bakar minyak. Pemerintah berdalih bahwa dana tersebut dilakukan atas dasar UU tentang Energi.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKITerhadap rencana itu, menilai perlu dikritisi beberapa hal usulan pemerintah mengenai dana ketahanan energi.
Pertama, bahwa pungutan dana energi tersebut tidak jelas dasar regulasinya bahkan terjadi penyimpangan regulasi. Karena yang disebut dalam UU Energi adalah depletion premium, bukan untuk memungut dana masyarakat dengan alasan dana ketanahan energi. Dengan demikian, pungutan dana ketahanan energi dimaksud bisa dikatakan sebagai "pungutan liar".
Kedua, dana ketahanan energi dimaksud berpotensi untuk disalahgunakan, untuk kepentingan kebijakan non energi atau bahkan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan ketahanan energi, larena kelembagaan yang mengelola dana yang dipungut tersebut tidak jelas. Kalau masih disatukan dengan dana APBN secara umum, maka potensi penyalahgunaannya sangat besar
Ketiga, sampai detik ini roadmap tentang ketahanan energi yang dimaksud pemerintah juga belum jelas, bahkan mungkin tidak ada.
"Bahwa, energi fosil itu perlu diberikan disinsentif dalam penggunaannya, secara filosofi adalah hal yang rasional. Namun demikian, ini bisa diterapkan jika masyarakat sudah ada pilihan untuk menggunakan energi non fosil (energi baru terbarukan)," kata Tulus dalam pernyataan resmi, Selasa (29/12/2015).
Oleh karena itu, pemerintah harus memperjelas lebih dulu perihal regulasi yag dijadikan acuan, harus jelas dulu lembaga yang akan mengelola dana tersebut (harus lembaga independen dan terpisah dengan ESDM), plus harus jelas lebih dulu roadmap tentang ketahanan energi dan bahkan kedaulatan energi nasional. Dan yag terpenting juga harus ada pilihan lain selain energi fosil.
"Oleh karena itu, sebelum hal ini bisa dipenuhi, maka pungutan dana ketahanan energi harus dibatalkan. Jangan bebani masyarakat dengan kebijakan yang belum jelas juntrungannya," tambah Tulus.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Pemerintah menetapkan harga jual baru untuk premium dan solar yang mulai berlaku pada 5 Januari 2016 nanti. Dalam kebijakan harga itu pula pemerintah menerapkan pungutan pengurasan energi fosil yang akan dipakai untuk dana ketahanan energi.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dana ketahanan energi akan dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel. Ia menambahkan dana ketahanan energi ini tentu seperti uang negara pada umumnya, akan disimpan oleh Kementerian Keuangan dengan otoritas pengggunaan oleh kementerian teknis yaitu Kementerian ESDM.
Selain itu, secara internal dana itu akan diaudit oleh Inspektorat Jenderal Kementerian ESDM dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Bukan itu saja, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pasti akan mengaudit juga.
Sudirman menambahkan, memang perlu ada aturan khusus tata cara pungutan dan prioritas pemanfaatan dana ketahanan energi tersebut. Rencananya, pemerintah akan berkonsultasi dengan DPR soal dana ketahanan energi ini pada masa persidangan dewan di Januari 2016.
Sebagai informasi, harga solar turun dari Rp 6.700 per liter turun menjadi Rp 5.650 dan ditambah pungutan untuk dana ketahanan energi sebesar Rp 300. Sehingga, harga baru solar menjadi Rp 5.950 per liter. Sedangkan harga premium turun dari Rp 7.300 menjadi Rp 6.950 ditambah pungutan untuk dana ketahanan energi sebesar Rp 200. Sehingga harga baru premium menjadi Rp 7.150 per liter. Harga baru premium dan solar ini mulai berlaku pada 5 Januari 2016 nanti.