Suara.com - Badan Pengurus Pusat Himpinan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengambil alih aset PT Freeport Indonesia di Papua.
Ketua Umum BPP Himpi, Bahlil menilai pengambilalihan aset tersebut tidak akan melanggar perjanjian atau aturan. Apabila pemerintah melakukan mengendalkkan aset perusahaan asal Amerika tersebut setelah perjanjian kontrak selesai pada tahun 2021.
"Pengambilalihan setelah masa kontrak selesai, ini cara paling profesional dan tidak mengejutkan dunia luar," kata Bahlil dalam acara Refleksi Akhir Tahun BPP Hipmi bertema 'Kegaduhan Freeport untuk Siapa?' di kantor Hipmi, Menara Bidaraka II, Jakarta Selatan, Selasa (29/12/2015).
Bahlil menyayangkan jika pemerintah tidak dari dulu mengendalikan aset Freeport. Dia sendiri menggambarkan bagaiamana Arab Saudi bisa mengendalikan perusahaan minyak Amerika Serikat bernama Aramco.
"Secara periodik, Arab Saudi melobi dan meminta tambahan saham, Arab Saudi bisa memanfaatkan banyak isu-isu global sampai akhirnya Aramco mengendalikan dan menjadi milik Arab Saudi," katanya.
Namun Bahlil menilai selama ini para pejabat negara malah tunduk dengan kepentingan asing. Hal itu, kata dia, yang mengakibatkan kepemilikan saham pemerintah tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.
"Kontrak karya II tahun 1991 sudah akan berakhir, tapi tidak ada kemajuan apa-apa dalam kepemilikan saham pemerintah," katanya.
Seharusnya pemerintah Indonesia bisa meniru cara kepemimpinan Presiden Bolivia dan Venezuela yang berani menasionalisasikan aset di negaranya masing-masing.
"Kalau di Venezuela dan Bolivia namanya nasionalisasi. Kontrak belum tuntas, perusahan asing dicaplok," ucapnya.
Lebih lanjut, kegaduhan politik yang terjadi terkait kasus dugaan pelanggaran etik Ketua DPR Setya Novanto menambah permasalahan pemerintah untuk bisa mengendalikan aset PT Freeport.
"Antar elit di negara ini seperti diadu di sana sini. Kegaduhannya luar biasa dan mampu menurunkan seorang Ketua DPR," kata Bahlil.