Suara.com - Buruh yang tergabung dalam Koalisi Anti Utang-Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dirasa belum memperjuangkan kesejahteraan para pekerja.
"Kami memberikan nilai empat (dari skala 10) untuk pemerintah," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), salah satu organisasi dalam KAU-GBI, Said Iqbal, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (24/12/2015).
Menurut Iqbal, beberapa "kesalahan" pemerintah sepanjang tahun 2015 adalah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tentang Pengupahan yang menekan daya beli buruh.
Selain itu, pada tahun 2015, juga terjadi peningkatan rasio gini, yang menggambarkan kesenjangan antara orang paling kaya dan paling miskin.
Berdasarkan Bank Dunia, pada tahun 2015, rasio gini Indonesia adalah 0,42, meningkat dari 0,41 pada tahun 2014.
"Jika dibiarkan ini akan sangat berbahaya. Sejarah menuliskan Revolusi Prancis terjadi ketika rasio gini 0,51, Revolusi Amerika Serikat meletus ketika rasio 0,52, 'Arab Spring' saat rasion gini 0,5," ujar Iqbal.
Buruh juga mengkritik besaran jaminan pensiun yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, yang hanya tiga persen dari gaji perbulan.
Padahal, seperti kata Sekjen KSPI Muhammad Rusdi, Singapura memberlakukan iuran pensiun wajib 33 persen, Tiongkok 28 persen, Vietnam 25 persen dan Malaysia 23 persen, dimana sebagian besar ditanggung oleh perusahaan.
Selain itu, besaran uang pensiun bagi karyawan swata, setelah 15 tahun, adalah 15-40 persen dari gaji terakhir perbulan ketika aktif bekerja.
"Jadi misalnya gaji terakhir Rp3.000.000, maka besar uang pensiun hanya Rp450.000 perbulan," tutur Rusdi.
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla juga dinilai mengingkari janji mereka kepada para buruh saat kampanye sampai menjabat. Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Rudi H. B. Daman mengatakan pemimpin negara tidak memenuhi janji terkait tiga layak yaitu upah layak, kerja layak dan hidup layak untuk para pekerja.
Pemerintah dianggap mengorbankan kesejehteraan dan para buruh demi kepentingan pemodal dan investasi.
"Saya kira kita bisa melihat betapa kebijakan pemerintah antirakyat dan antiburuh. Negeri ini menjadi 'kaki tangan' pemodal dengan menyediakan bahan baku murah, buruh murah sekaligus menjadi pasar hasil industri negara-negara imperialis," ujar Rudi.
Sebagai informasi, KAU-GBI adalah gabungan dari KSPI, KSBSI, KSPSI pimpinan Andi Gani, KPBI, KASBI, FSPASI, SBSI 1992, Gaspermindo, GOBSI dan GSBI.
PP Pengupahan memang mendapat penolakan keras dari kaum buruh. Setidaknya ada enam alasan yang membuat para buruh menolak aturan baru pengupahan tersebut.
Pertama, upah tidak dibayar ketika buruh melakukan kegiatan serikat pekerja. Kedua, kenaikan upah minimum yang didasarkan pada formula inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional, berarti kenaikan upah minimum tidak lebih dari 10 persen setiap tahunnya. Padahal menurut para buruh, kebutuhan hidup buruh selalu dinamis.
Ketiga, komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang menjadi dasar penetapan upah minimum, hanya ditinjau lima tahun sekali.
Keempat, adanya sanksi administratif yang diberikan bagi pengusaha yang tidak membayar upah. Skema tersebut dianggap bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, di mana sanksinya adalah pidana.
Kelima, PP Pengupahan tidak lagi mengatur peran negara dalam melindungi warganya, terkait pemberian upah yang layak. Terlebih, para buruh menganggap mekanisme pengupahan di Indonesia selama ini menggunakan sistem upah murah yang justru memiskinkan buruh Indonesia.
Keenam, pemerintah dianggap terlalu memberi keistimewaan pada buruh asing. Mereka dibayar dengan mata uang asing yang besarannya mengikuti kurs terkini. Sehingga upah buruh asing akan jauh lebih besar daripada upah buruh dari negeri sendiri.
(Antara)