Inilah Dampaknya Jika Pertambangan Freeport Ditutup

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 13 Desember 2015 | 19:51 WIB
Inilah Dampaknya Jika Pertambangan Freeport Ditutup
Kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dekan Fakultas Pertanian Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Provinsi Papua Barat, Agus Sumule, di Manokwari, Minggu (13/12/2015), menilai jika PT Freeport ditutup, Kabupaten Mimika akan mengalami dampak yang cukup besar, sebab, hampir 100 persen pendapatan asli daerah (PAD) diperoleh dari Freeport.

Disisi lain, kata dia, jika Freeport ditutup, maka akan ada dampak lingkungan yang begitu besar dirasakan masyarakat pemilik hak ulayat wilayah setempat.

"Kita sudah sampai pada titik di mana kita tidak mungkin kembali karena Freeport sudah beroperasi hampir 50 tahun. Ketika Freeport berhenti, dampak lingkungan yang ditimbulkan tidak akan berhenti sampai di situ," kata dia.

Menurutnya, dampak lingkungan yang akan dirasakan masyarakat, bisa mencapai 200 tahun kedepan, sudah banyak penelitian yang dilakukan menyakut persoalan ini.

"Pernah ada laporan dibuat oleh Walhi (Wanaha Lingkungan Hidup), salah satunya tentang aliran batuan asam yang PH-nya antara nol, satu dan sebagainya. Tidak ada kehidupan di sana dan itu terjadi sampai saat ini," kata dia lagi.

Dia mengatakan, dampak lingkungan itu belum muncul saat ini, karena Freeport mencampurnya dengan batuan gamping dan kapur, sehingga saat cairan itu turun cenderung netral, bahkan basah.

Agus menilai, hal ini merupakan persoalan yang mesti dijawab, dan masuk dalam pembahasan renegosiasi PT Freeport, termasuk hak-hak masyarakat, serta beberapa poin lain, di antaranya penambahan royalti dan penyiapan smelter yang diajukan pemerintah pusat.

"Freeport harus menabung dan menyiapkan teknologi canggih dari sekarang, persoalan Freeport bukan semata-mata persoalan ekonomi. Yang kita cari adalah keseimbangan antara ekonomi, ekologi dan ekosistem, agar sektor pertambangan itu, terus memberi manfaat,"urainya.

Ia menuturkan, sumbangan PT Freeport terhadap pendapatan negara tidak sedikit. Pada tahun 2007, Freeport dapat menyumbang pendapatan negara hingga mencapai, Rp18 triliun.

Freeport pun, kata dia, sudah pernah menjadi penyumbang pajak terbesar di Indonesia.

"Namun, di saat yang sama, kita juga harus berani bertanya, untuk semua penghasilan yang sudah didapat oleh Freeport dan ketika Freeport pergi, siapa yang akan bertanggungjawab terhadap dampak lingkungan yang sudah ditimbulkan," ujarnya.

Pada tahun 2017 mendatang, lanjut Agus, genap 50 tahun Freeport beroperasi di Mimika Papua. Di Timika, terdapat prinsip-prinsip hidup bernegara, berdaulat, pembangunan ekonomi, yang peka terhadap lingkungan hidup, untuk itu semua pihak harus memandang persoalan itu secara menyeluruh.

Agus mengajak semua pihak, untuk melihat kembali isi kontrak karya, sebab, ia khawatir tidak banyak pihak yang paham terhadap isi kontrak karya tersebut.

Dalam kontrak karya itu, kata dia, Freeport berhak menambang hingga 2021 mendatang, tapi pada saat yang sama, dia boleh mengajukan, kapan saja untuk penambangan dua kali 10 tahun lagi.

Atas pengajuan itu, lanjutnya, sesuai kontrak karya, pemerintah harus memberi respon yang masuk akal.

"Ini kata kuncinya, kita tidak bisa serta merta mengatakan 'you' tidak boleh, atau harus orang lain, atau kita mau ambil sekarang. Tidak sesedarhana itu, karena itu bukan jiwa kontrak karya yang dibuat saat itu," jelasnya.

Menurutnya, perlu penelitian mendalam, guna melihat apa yang baik dan tidak baik dari apa yang sudah dilakukan PT Freeport selama ini.

Hal yang tidak baik harus diperbaiki, misalnya jika freeport ingin melanjutkanya penambanganya, perusahaan tersebut harus membuat smelter sebagaimana yang diajukan pemerintah pusat.

Terkait hal itu, dari banyak sumber informasi yang ia peroleh, masyarakat setempat, tidak menghendaki adanya smelter di Timika.

"Masyarakat bilang begini, satu perusahaan Freeport saja sudah banyak orang datang, apalagi kalau ada smelter,"kata dia.

Menyangkut persoalan itu, menurutnya harus dicari alternatif lain yang tetap mempertahankan agar pembangunan smelter itu tetap dilakukan di Tanah Papua.

Dia menilai, smelter bisa dibangun di Kabupaten Fak-Fak Provinsi Papua Barat, karena, jaraknya tidak terlalu jauh dari Timika. Di sisi lain kata dia, berdasarkan sejarah, dahulu, Freeport dimulai dari, camp yang ada di Babo (salah satu distrik kabupaten Teluk Bintuni yang lokasinya dekat dengan Kabupaten Fak-Fak).

Dengan demikian, lanjut Sumule, maanfaatnya dapat dirasakan oleh banyak pihak. Untuk itu pula, Freeport bisa tetap berada di Tanah Papua, serta bisa menjadi salah satu simpul ekonomi yang dapat membuat banyak industri lain berdiri dan menyiapkan lapangan pekerjaan bagi warga Papua.

"Saya setuju jika pemerintah Papua Barat mangajukan itu, sebab, Papua ini terlalu luas kalau semua indutri harus terkumpul di Timika (ibukota Kabupaten Mimika), tinggal persoalannya, Freeport mau atau tidak," ujarnya.

Dia berpendapat, Freeport tidak akan banyak mengeluarkan biaya yang besar untuk menyiapkan infrastruktur pendukung, misalnya untuk kebutuhan energi pembangkit listrik, hal itu bisa disuplai dari energi gas LNG Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni "Di sisi lain di daerah sekitar Teluk Bintuni dan Fak-Fak, banyak pelabuhan-pelabuhan dalam, lain halnya dengan Timika,"ujarnya lagi.

Menurutnya, persoalan Freeport harus diselesaikan dengan hati yang jernih, persoalan ini menjadi rumit karena ada pihak-pihak yang dicurigai, serta ada pula yang datang untuk sekadar mencari keuntungan. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI