Suara.com - Tak terasa empat jam sudah perjalanan jalur darat dilalui melintasi jalanan aspal membelah desa-desa, menanjak dan menurun mengikuti kontur geografis daerah itu. Sesekali perutpun dikocok-kocok saat kendaraan melewati jalanan berlubang.
Saat mata mulai sedikit tertutup, langsung segar kembali dan itu berulang-ulang, tatkala mobil yang ditumpangi melewati jalan berlubang akibat sopir yang tidak mau tertinggal dari konvoi kendaraan di depannya.
Akhirnya tibalah di pusat kota Kecamatan Tulang Selapan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Belum cukup di situ, kaki pun dilangkahkan menuju dermaga kota kecamatan tersebut. Hanya berjalan sekitar 300 meter dari lokasi parkiran mobil di tepi jalan, terpampang jejeran "speed boat" dari kayu dan orang-orang hiruk pikuk yang menaikkan barang dan menurunkan penumpang.
Dermaga itu menjadi sarana transportasi utama bagi masyarakat daerah tersebut, hingga ke Pulau Bangka. Tidak aneh keriuhan sangat terasa, dan di tepian sungai berjajar warung penjual bahan bakar untuk "speed boat" itu. Tinggal menjulurkan selang menuju perahu. Sekilas benar-benar mirip SPBU.
Ini merupakan langkah awal menuju Distrik Simpang Tiga Sakti yang berada di alur sungai yang membawa penumpangnya untuk mengikuti persidangan lapangan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang yang dipimpin oleh Pharlas Nababan.
Dalam perkara gugatan perdata yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMK) anak perusahaan PT Sinar Mas Group, dengan nilai gugatan yang fantastis dan baru pertama kalinya di Tanah Air Rp7,8 triliun.
Majelis hakim ingin mengecek bagaimana kondisi hutan yang dilaporkan oleh penggugat dan ahli benar-benar terjadi kebakaran pada 2014, termasuk melihat secara dekat sarana dan prasarana.
KLHK sendiri mengaku optimistis gugatan perdata terhadap PT Bumi Mekar Hijau senilai Rp7,8 triliun dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan, bakal dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang.
"Saya optimistis hakim memenangkan gugatan kita," kata Direktur Perselisihan dan Sengketa Lahan Kementerian Lingkungan Hidup, Jasmine Argil Utomo di sela-sela sidang lanjutan dengan agenda pengecekan lokasi kebakaran oleh majelis hakim di Distrik Simpang Tiga Sakti, Ogan Kemering Ilir, Sumsel, Selasa (1/12).
Optimistis itu, kata dia, setelah melihat fakta di lapangan sarana dan prasarana guna mencegah kebakaran seperti menara suar, petugas dan alat pemadam kebakaran yang tidak memenuhi persyaratan. "Dari hasil pengecekan lapangan sarana dan prasarana itu sudah ada, tapi sebelumnya tidak ada, bahkan lokasinya pun berpindah," katanya.
Selain itu, tanaman yang ada subur hingga sisa kebakaran tertutup, namun sisanya tetap ada, kemudian saat musibah kebakaran keberadaan parit air kering, padahal seharusnya tetap terjaga.
"Kelihatannya saat ini sudah mulai ada perbaikan, namun itu bukan berarti kondisi sebelumnya hingga perusahaan (PT BHM) harus bertanggung jawab," ucapnya.
Ia menambahkan pihaknya mendapatkan bukti baru untuk memperberat terhadap anak perusahaan PT Sinar Mas Group itu, yakni kebakaran lahan kejadian tahun 2014 dengan luas areal 2.000 hektare dan memberikan tambahan bukti pada kebakaran 2015 kepada majelis hakim.
Sementara itu, kuasa hukum PT BMH Maurice menyoroti adanya kesalahan dari pihak penggugat dalam menentukan koordinat lokasi kebakaran seperti yang diajukan dalam gugatan terhadap kliennya itu.
"Sampel koordinat saja salah dan tidak sesuai dengan kaidah yang ada. Selain itu tudingan tidak ada sarana prasarana fakta di lapangan ada meski posisinya dipindahkan. Jadi salahnya apa?" katanya.
PT Bumi Mekar Hijau digugat atas perbuatan melawan hukum atas dugaan pembakaran lahan di area seluas 20.000 hektare pada tahun 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Akibat perbuatannya tersebut, negara mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.
Hari Kedua Setelah puas melihat fakta di lapangan itu, persidangan dilanjutkan keesokan harinya ke Distrik Sei Biyuku yang memakan waktu sekitar empat jam dari Palembang dengan melintasi hutan konservasi dan lahan tidak terurus. Khususnya di jalur ini, perut penumpang kendaraan benar-benar dikocok-kocok.
Bahkan aksi "offroad" benar-benar terjadi tatkala di tengah jalan menuju pengecekan menara, diguyur hujan lebat tanpa ampun lagi laju kendaraan terganggu mengingat sejumlah kendaraan rombongan tidak menggunakan kendaraan 4x4 yang spesialis medan berlumpur.
"Di mana menaranya (pemantau kebakaran)?" tanya majelis hakim yang dipimpin Pharlas Nababan pada persidangan lanjutan di lokasi kebakaran hutan dan lahan, OKI, Rabu (2/12).
Ia menyatakan, pada intinya di lokasi memang benar terbakar seperti yang disampaikan ahli yang diajukan oleh penggugat.
Sidang lanjutan akan berisikan kesimpulan dari hasil persidangan lapangan, katanya.
Di tempat yang sama, saksi ahli penggugat dari Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Bambang Hero Saharjo menyatakan pihaknya telah mengambil sampel di lokasi kebakaran hutan dan lahan khususnya di Blok O dengan luasan 6 kilometer x 12 kilometer dengan kondisi gambut terbakar dan daun vegetasi akasia turut terbakar.
"Memang sudah tumbuh kembali pohonnya tapi di bawahnya ada sisa kebakaran," katanya.
Sementara itu, Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan pihaknya optimistis majelis hakim akan memenangkan gugatan perdata yang diajukan oleh pihaknya.
"Faktanya memang ada kebakaran," tegasnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan izin PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Ogan Kemering Ilir dibekukan terkait kebakaran hutan dan lahan pada 2015.
"Perusahaan kami beri sanksi administrasi dengan pembekuan untuk kebakaran 2015," kata Rasio Ridho Sani.
Meski untuk kasus pembakaran hutan dan lahan oleh PT BMH pada 2014 sedang disidangkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Palembang, pemberian sanksi untuk 2015 tetap diberikan.
Ia menambahkan nantinya akan dilihat apakah akan dicabut atau tidak pembekuan itu, tergantung persyaratan yang ditentukan telah dipenuhi.
Sesuai aturan, terdapat tiga tingkatan dalam pemberian sanksi administrasi. Artinya KLHK meminta mereka untuk memperbaiki namun tidak dijalankan berlanjut kepada pembekuan. Kalau tetap tidak menaati juga dilanjukan dengan pencabutan izin.
Perusahaan juga harus menyerahkan areal terbakar itu pada pemerintah, dan itu harus disanggupi karena ini untuk rakyat. Kalau tidak bisa mengolah memang harus ditarik lagi, kata Rasio Ridho.
Ia menyebutkan pihaknya memberikan rekomendasi kepada perusahaan tersebut untuk meningkatkan sarana prasarana, hal itu mengingat areal yang terbakar tidak hanya 100 hektare, namun mencapai 20 ribu hektare.
"Pemerintah sangat serius menangani ini dan berkomitmen," tegasnya.
Sementara itu, sejumlah karyawan PT BMH menyatakan tindakan dari pemerintah itu berlebihan karena tudingan lalai dalam kebakaran tidak terbukti. "Faktanya kebakaran itu dilakukan oleh masyarakat. Logikanya mana mungkin, perusahaan sengaja membakar pohon produksi," kata salah seorang karyawan yang enggan menyebutkan namanya.
Sebaliknya, kata dia, karyawan jatuh bangun berupaya memadamkan nyala api sampai mereka berminggu-minggu harus berada di lapangan. "Saya sendiri berminggu-minggu di lapangan untuk memadamkan api," katanya.
Ini lahan bekas sisa HPH saat zaman Orba dan benar-benar tidak terurus, kemudian dibuat hutan kembali. Jadi tidak mungkin sengaja membakar," katanya. (Antara)
KLHK Gugat Anak Usaha Sinar Mas Group Rp7,8 Triliun
Adhitya Himawan Suara.Com
Sabtu, 05 Desember 2015 | 05:14 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Ekoregion Pembangunan Wilayah di Papua sebagai Solusi Pembangunan Berkelanjutan
23 September 2024 | 19:05 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
Bisnis | 20:19 WIB
Bisnis | 19:12 WIB
Bisnis | 18:51 WIB
Bisnis | 17:29 WIB
Bisnis | 17:06 WIB