PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) menegaskan negara akan lebih diuntungkan jika kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison diperpanjang dibandingkan bila terminal tersebut dikelola sendiri oleh Pelindo II. Hal tersebut berdasarkan perhitungan dengan memproyeksikan nilai manfaat tahun 2019 – 2038 yang disesuaikan dengan nilai saat ini (present value).
“Berdasarkan perhitungan tersebut, keuntungan yang diperoleh IPC dari kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison (kontrak diperpanjang) dapat mencapai USD 668,43 juta atau Rp 9,09 triliun (kurs Rp 13.600), dengan rincian manfaat dari sewa USD 384,26 juta, dividen USD 69,17 juta (untuk porsi kepemilikan saham 51%), dan biaya di muka (upfront fee) sebesar USD 215 juta,” papar Direktur Utama IPC, RJ Lino dalam keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Kamis (3/12/2015).
Sementara, lanjut Lino, jika JICT dikelola sendiri oleh IPC (kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison tidak diperpanjang), maka keuntungan yang diperoleh hanya USD 519, 89 juta atau Rp 7,07 triliun (kurs Rp 13.600). Rinciannya, manfaat dari sewa USD 384,26 juta, dan dividen IPC USD 69,17 juta, dan dividen dari 49% saham Hutchison di JICT sebesar USD 66,45 miliar.
“Jadi, bila JICT dikelola sendiri atau dengan kata lain 100% saham JICT dimiliki IPC, dividen yang sebelumnya diperoleh Hutchison masuk ke IPC. Karena itu, total dividen yang diterima menjadi lebih besar dibandingkan dividen yang diterima IPC jika pengelolaan melalui kerja sama. Namun, IPC tidak akan mendapat upfront fee, sehingga berdasarkan perhitungan lebih menguntungkan bila kerja sama pengelolaan JICT dengan Hutchison diperpanjang,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Lino, jika IPC menguasai 100% saham JICT, IPC juga harus membayar termination value sebesar USD 58 juta kepada Hutchison. Lino menambahkan, perhitungan tersebut dengan asumsi tingkat pertumbuhan pada tahun 2019 – 2038 sama dengan 2016 serta discount rate sebesar 12,5%. Perhitungan tersebut juga belum memperhitungkan keuntungan selama empat tahun (2015 – 2019) dari kenaikan nilai sewa serta asumsi dioperasikannya Terminal 2 oleh IPC.
Lino juga menjelaskan, proses perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT sudah melalui beberapa tahapan kajian dan pendapat hukum dalam rangka menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Antara lain kajian dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Jaksa Pengacara Negara. Meminta pendapat dari Kantor Hukum Oentoeng Suria & Partners dan Lembaga Kajian Persaingan Usaha Universitas Indonesia. Membentuk Dewan Pengawas (Oversight Committee) dan meminta bantuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit yang hasilnya tidak ada kerugian keuangan negara.
“Saya tegaskan bahwa dalam semua proses ini tidak ada aturan yang kami langgar. Semua dijalankan dengan transparan untuk mematuhi prinsip good corporate governance,“ tutup Lino.
Pelindo II merupakan BUMN operator pelabuhan terbesar di Indonesia. Saat ini Pelindo II memiliki 12 cabang pelabuhan yang tersebar di wilayah bagian barat Indonesia, yakni Tanjung Priok, Sunda Kelapa, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur, Banten, Bengkulu, Panjang, Cirebon, Jambi, Pangkal Balam dan Tanjung Pandan.
Selain itu, Pelindo II juga memiliki 16 anak perusahaan yang terdiri atas PT Pelabuhan Tanjung Priok, PT Jakarta International Container Terminal, PT Pengembang Pelabuhan Indonesia, PT Indonesia Kendaraan Terminal, PT energy Pelabuhan Indonesia, PT Integrasi Logistik Cipta Solusi, PT Jasa Peralatan Pelabuhan Indonesia, PT Pengerukan Indonesia, PT Elecronic Data Interchange Indonesia, PT Terminal Petikemas Indonesia, PT Pendidikan Maritim dan Logistik Indonesia, PT IPC Terminal Petikemas, PT Rumah Sakit Pelabuhan, PT Multi Terminal Indonesia, PT Jasa Armada Indonesia, serta KSO TPK Koja.