Ketua Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mempertanyakan manajemen Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan yang sudah mulai beroperasi selama dua tahun atau sejak 1 Januari 2014, tapi masih memiliki rapor merah.
“Sebenanrnya, mau dibawa kemana BPJS kita ini. Karena pengelolaan BPJS selama dua tahun ini sudah melenveng dari transformasi yang sudah ada. Semua perencanaan semuanya jelek,” kata Timboel saat menggelar konferensi pers di restoran Dapur Solo, Matraman, Jakarta Timur, Selasa (1/12/2015).
Ia mencontohkan, salah satu perencanaan yang jelek dalam pelaksanaan BPJS adalah soal pengadaan kartu untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang menghabiskan dana sebesar Rp4,1 miliar tapi tidak memiliki manfaat sama sekali.
“Itu percuma soal pengadaan kartu JKK. Tapi pas mau dipakai nggak bisa, persyaratannya ribet, buat apa bikin kartu itu kalau nggak bisa digunakan. Kan hanya membuang-buang uang,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti beberapa kinerja BPJS yang merah. Pertama, soal kepesertaan. Manajemen BPJS Kesehatan kurang optimal menggaet peserta pekerja penerima upah (PPU). Hingga kini baru 11,5 juta PPU yang belum menjadi peserta. Padahal, lanjut Timboel, tertulis di Peraturan Presiden (PP) 111/2013, pemberi kerja BUMN, usaha besar, menengah, dan usaha kecil wajib mendaftarkan pekerjanya paling lambat 1 Januari 2015.
“Mereka malah adakan memorandum of understanding (MoU) dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan membuat perjanjian agar ketetapan itu molor menjadi 30 Juni 2015. Banyak perusahaan berlindung di balik MoU tersebut,” ungkapnya.
Padahal jika semua menjadi peserta sesuai dengan rencana, kolektibilitasnya bisa membantu BPJS Kesehatan terhindar dari jebloknya neraca karena jumlah klaim lebih besar dari iuran.
Selain itu, di lokasi yang sama, Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar menjelaskan, Direksi BPJS secara keseluruhan secara tidak langsung telah melawan hukum dengan mempersulit masyarakat, terutama pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja untuk menjadi peserta program jaminan sosial kesehatan dengan membuat peraturan dan regulasi internal yang bertentangan dengan undang-undang.
“Contohnya, aktivasi kepersertaan baru berlaku 14 haru sejak terdaftar sebagai peserta. Itu aturan darimana, di Undang-undang nggak ada aturan itu. Ini jelas sangat merugikan masyarakat berpenghasilan terbatas tetapi tidak tercover dalam Peneriman Bantuan Iuran (PBI),” tegasnya.