Suara.com - Konsorsium Global Concern dan Kopel Indonesia menggelar diskusi nasional bertema Menuju Satu Digit di Swiss Bel Hotel, Mangga Besar, Jalan Kartini Raya 57, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Senin (23/11/2015).
Dalam diskusi, mereka menghadirkan sejumlah perempuan miskin yang menjadi inspirasi di desanya dalam mengentaskan kemiskinan. Salah satu perempuan inspiratif itu adalah Maisarah.
Perempuan berusia 55 ini merupakan perajin kain tenun khas Ende. Dia berasal dari Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Kepada Suara.com, dia bercerita suka duka menjadi penenun.
"Saya putus sekolah SMP pada usia 15 tahun di tahun 1978," ujar Maisarah saat ditemui Suara.com di Swiss Bel Hotel.
Maisarah bercerita keterampilan menenun menurun dari ibu. Sejak kecil, setiap kali bangun dari tidur, dia melihat ibunya menenun. Lama-kelamaan dia tertarik dan dengan cepat menguasainya.
Maisarah tidak menamatkan sekolah karena faktor ekonomi. Setelah putus sekolah, dia membantu ibu menenun.
"Saya putus sekolah karena tidak punya uang," kata Maisarah.
Di usia ketujuh belas tahun, dia memulai usaha sendiri. Dia memproduksi kain tenun sendiri dan menjualnya sendiri ketika datang kapal besar yang bersandar di daerahnya.
"Ini kami jual kain tenun Ende seharga Rp8.000 waktu itu saat dia jual ke kapten kapal," kata Maisarah.
Maisarah bercerita kain yang dijual seharga Rp8 ribu itu proses pembuatannya tujuh sampai delapan bulan. Maklum menenun pakai tangan beda dengan mesin.