Suara.com - Kualitas infrastruktur di Indonesia dinilai kurang mendukung pengembangan dunia investasi yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan per kapita masyarakat.
"Pola kebijakan kita berbeda dengan China (Tiongkok) yang sangat diminati investor internasional," kata ekonom dari Universitas Sumatera Utara (USU) Wahyu Aryo Pratomo di Medan, Senin (23/11/2015).
Menurut Wahyu, kondisi Tiongkok tidak jauh berbeda dengan Indonesia sekitar 40 tahun lalu, karena sama-sama mengalami kemiskinan dan pengangguran.
Namun, pemimpin Tiongkok Deng Xiao Ping memiliki pemikiran maju sehingga membuat kebijakan untuk memperbaiki infrastruktur guna menarik minta investor.
"Mereka berpikir, tidak ada yang bisa merubah kesejahteraan di China kecuali investasi. Lalu mereka berpikir, bagaimana orang-orang yang berduit itu datang ke China," ucapnya.
Atas dasar pemikiran itu, pembuat kebijakan di Tiongkok mengambil keputusan dengan berutang untuk membangun seluruh infrastruktur yan dibutuhkan, mulai dari jalan, tol, kereta api, dermaga, dan fasilitas lainnya.
Namun, pemerintah Tiongkok memiliki kebijakan yang konsisten dalam menjaga pembangunan infrasruktur tersebut, sehingga negara itu mengalami kemajuan pesat.
"Kita terlebih dulu memiliki jalan tol dari China, tetapi China sekarang sudah memiliki jalan tol 30 ribu km lebih yang menghubungkan utara hingga selatan," tuturnya.
Kondisi terkini, kata dia meski utang Tiongkok cukup banyak, tetapi penduduknya mengalami kesejahteraan karena pendapatan per kapitanya tinggi.
Kebijakan yang diterapkan pemerintah Tiongkok juga coba dilakukan Indonesia pada masa orde baru dengan banyak mengambil utang ke lembaga keuangan dunia.
Konsep dan desain pembangunan infrastruktur untuk mendukung pengembangan perekonomian juga sudah disiapkan ekonom-ekonom Indonesia seperti Prof Widjojo Nitisastro.
Namun, Indonesia tidak memiliki konsistensi dalam menjaga pembangunan infrastruktur tersebut sehingga anggarannya banyak yang "bocor".
Kondisi itu diperparah dengan tidak adanya sanksi yang tegas bagi koruptor yang merusak rencana pembangunan nasional tersebut.
"Itu sudah dibuat Orde Baru, masalahnya kebocorannya tinggi. China memiliki sistem yang tegas, beda dengan kita. Di China, koruptor itu dihukum mati," tegas Wahyu.
Ia mengatakan, ketertarikan investasi sejalan dengan kondisi infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk mendukung pengembangan usaha yang dijalankan.
Namun, Indonesia diuntungkan dengan sumber daya alam yang ada sehingga investor masih tertarik meski dengan kondisi infrastruktur yang "pas-pasan".
Tidak sedikit investor yang mau membangun sendiri infrastruktur pendukung seperti pembangunan jalan menuju lokasi industri dan penyediaan energi listrik.
Namun sayangnya, kelebihan sumber daya tersebut tidak didukung dengan sikap dan kebijakan yang memberikan kemudahan dalam investasi.
"Infrastruktur kita jelek begini saja banyak yang mau investasi. Namun terkendala UU, swasta tidak diizinkan membangun listrik, mesti PLN yang membangunannya," kata Dosen Fakultas Ekonomi USU itu. (Antara)