Hasil Panen Perikanan Indonesia Merosot Nilainya Rp 30 Triliun

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 03 November 2015 | 12:18 WIB
Hasil Panen Perikanan Indonesia Merosot Nilainya  Rp 30 Triliun
Produksi Ikan Asin Meningkat
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Susut hasil pascapanen sektor perikanan masih terbilang tinggi. Nilainya diperkirakan sebesar 30%. Sementara, menurut estimasi FAO, nilainya mencapai 35%. "Angka susut ini perlu dievaluasi mengingat telah banyak usaha dilakukan seperti implementasi Good Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP), dan sistim rantai dingin," kata PLT Kepala Balitbang KP, Nilanto Perbowo dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Selasa (3/11/2015).

Jika susut dibiarkan terjadi, menurut Nilanto akan merupakan kerugian yang  sangat besar. Berdasarkan data tangkapan ikan  laut Indonesia tahun 2014 saja (sebesar 5,8 juta ton atau setara  Rp 99 triliun), maka nilai susut hasil perikanan akan  mencapai Rp 30 triliun (2 milyar USD).

Susut hasil pasca panen perikanan atau post-harvest fish loss (PHFdapat diartikan  sebagai berkurangnya jumlah sumber pangan perikanan yang dapatdikonsumsiterjadi dalam suatu rantai distribusi, baik dari produksi atau penangkapan, penanganan pasca panen, pengolahan, serta pemasaran (grosir daneceran). PHFL ini memberikan dampak yang signifikan terhadap nilai ekonomi komoditas. Kualitas dan keamanan pangan, lingkungan, sertakeberlanjutan (sustainabilitysumber daya perikanan yang berdampak pada pembangunan ekonomi.

Nilanto Perbowo menjelaskan, sektor perikanan sendiri mengalami dilematis. Di satu sisi, kita berupaya keras untuk terus meningkatkan produksiperikanan hingga mengalami overfishing di beberapa wilayah. Upaya untuk mengembalikan kondisi perikanan tangkap kembali ke tingkat lestari nyamembutuhkan waktu yang panjang dan perlu kendali sistem yang intensif. Dengan demikian, harapan untuk dapat meningkatkan eksploitasi hasiltangkapan ikan di laut belum dapat terpenuhi.

Di sisi lain, tambahnya, permintaan dunia dan juga kebutuhan domestik terhadap komoditas ikan cenderung meningkat dan bergerak seiring denganpertumbuhan penduduk. Kesenjangan muncul antara pasokan dan permintaan disertai dengan tidak terimplementasikannya  good handling practices (GHP) dan good manufacturing practices (GMP) sehingga berimbas pada tingginya PHFL.Dalam kondisi sumber daya yang masih terbatas dan permintaankomoditas perikanan yang tinggi, maka susut hasil pasca panen perikanan yang tinggi mengindikasikan perilaku boros dalam memanfaatkan sumber dayaalam. Sudah barang tentu hal ini tidak boleh terjadi,” tegasnya.

Evaluasi PHFL, menurut Plt. Ka Balitbang KP, tidak hanya bertujuan untuk mengetahui dan mengoreksi nilai susut hasil yang sudah ada.Tetapi juga untuk mendapatkan informasi mengenai penyebab susut hasil, siapa yang terkena dampaknya, dan strategi apa yang digunakan untuk mereduksi ataubahkan meniadakan susut hasil. Hal yang tak kalah penting adalah untuk mengidentifikasi intervensi apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi ataubahkan mencegah terjadinya susut hasil.

Pentingnya PHFL tercantum dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), sebuah panduan kebijakan yang mempromosikan praktikpengurangan susut hasil perikanan. Lebih dari itu, pemahaman yang baik terhadap masalah tersebut akan sangat membantu dalam menetapkankebijakan-kebijakan lanjutannya, tambah Nilanto.

Balitbang KP memandang, upaya meningkatkan pemahaman terhadap susut hasil perikanan merupakan kebutuhan mendesak karena dapat berdampakpada ketahanan pangan dan ekonomi bangsa. Pengukuran susut hasil perikanan diperlukan dalam menetapkan perencanaan dan pelaksanaan kebijakanuntuk mencari solusi dan intervensi efektif untuk mengurangsusut hasil melalui rumusan regulasi (peraturan), pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi, peningkatan infrastruktur, akses dan layanan pasar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI