Dalam pengembangan konsep non tunai untuk mendukung transaksi keuangan syariah, Bank Indonesia menfokuskan kebijakannya pada tiga aspek utama. Pertama, pengembangan instrumen/layanan non tunai dilakukan dengan mengacu pada prinsip syariah, dan sesuai dengan karakteristik masyarakat muslim. Kedua, pengembangan dilakukan dengan berbasis pada inovasi. Ketiga, dukungan ekosistem e-payment yang merupakan faktor penting untuk menjaga keberlangsungan layanan non tunai. Adanya dukungan tersebut membuat transaksi keuangan menjadi lebih mudah diakses dan efisien. Demikian disampaikan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ronald Waas, dalam sambutannya pada acara Seminar Layanan Non Tunai untuk Pembayaran Wakaf, Infak dan Shadaqah di Surabaya, (30/10/2015).
Seminar diselenggarakan sebagai bagian dari acara Festival Ekonomi Syariah Indonesia (Indonesia Shari’a Economic Festival – ISEF) 2015. Salah satu yang menjadi perhatian khusus dalam ISEF 2015 adalah pengembangan layanan nontunai, hingga mampu memfasilitasi transaksi keuangan syariah. Hal ini perlu dilakukan, mengingat masih banyaknya jumlah penduduk muslim di Indonesia yang belum terjangkau akses keuangan (unbanked). Di sisi lain, kebutuhan transaksi keuangan ritel dikalangan masyarakat muslim semakin meningkat, khususnya untuk pembayaran wakaf, infak dan shadaqah. Layanan nontunai diharapkan dapat memberi solusi bagi upaya perluasan akses keuangan di kalangan umat muslim Indonesia.
Salah satu potensi penggunaan nontunai dalam konteks keuangan syariah adalah dalam transaksi pembayaran wakaf, infak dan shadaqah. Oleh karena itulah, Bank Indonesia berencana untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait agar ke depan, pembayaran wakaf, infak dan shadaqah dapat dilakukan dengan skema nontunai. Penyediaan layanan nontunai untuk pembayaran wakaf, infak dan shadaqah ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan pengalaman masyarakat dalam bertransaksi non tunai. Lebih jauh lagi, kemauan masyarakat untuk membuka diri dan mencoba bertransaksi keuangan diharapkan dapat menjadi titik awal yang strategis untuk melakukan edukasi keuangan, khususnya terkait transaksi non tunai.
Bentuk nyata telah dimulainya penggunaan layanan nontunai berbasis syariah adalah dengan masuknya Layanan Keuangan Digital (LKD) ke pondok pesantren. LKD merupakan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang menggunakan jasa pihak ketiga sebagai mitra, dengan memanfaatkan teknologi, diantaranya telepon seluler. Dengan teknologi yang dimiliki masyarakat luas, LKD ideal untuk digunakan dalam perluasan akses keuangan masyarakat ke sektor keuangan formal. Oleh karena itulah, melalui LKD, Bank Indonesia berinisiatif memfasilitasi sinergi antara pondok pesantren dengan penerbit uang elektronik.
Dalam kegiatan kali ini, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara 3 perusahaan telekomunikasi (PT Telkomsel, PT Indosat, dan PT XL Axiata), dengan dua pondok pesantren yaitu Daruut Tauhiid di Bandung, dan pondok pesantren putri Al-Mawaddah di Jawa Timur. Uji coba pada pondok pesantren Daruut Tauhid mengangkat model bisnis sinergi perusahaan telekomunikasi sebagai penyelenggara LKD, dengan unit usaha di pondok pesantren sebagai mitra LKD. Sementara untuk pondok pesantren putri Al-Mawaddah, kerjasama dilakukan dengan penggunaan LKD dalam memfasilitasi pembayaran uang sekolah, transfer dari orang tua santri kepada santri, serta penambahan fungsi merchant (penjual yang melayani transaksi LKD) pada unit usaha di pondok pesantren.
"Ke depan, koordinasi yang baik antara Bank Indonesia, Pemerintah, otoritas terkait, lembaga amil zakat, pondok pesantren dan pelaku industri sistem pembayaran, kesadaran dan kesediaan masyarakat untuk menggunakan layanan non tunai yang sesuai dengan prinsip syariah dalam aktivitas ekonomi sehari-hari diyakini akan meningkat.," imbuh Ronald