Suara.com - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance Iman Sugema menilai rencana pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak di tengah harga minyak dunia yang menurun, tidak mampu menangkal defisit migas sebesar 2,11 miliar dolar AS.
Menurut dia, meski pemerintah menurunkan harga BBM, defisit migas akan tetap membengkak dan menambah beban negara karena harus menutupinya.
"Begini, kan kemarin dinaikkan BBM untuk menutup defisit neraca perdagangan migas, tapi enggak ke tutup juga. Sekarang mau diturunin saat harga minyak dunia turun juga nggak bisa. Wong kalau harganya naik saja konsumsi BBM itu tetap besar kok, apalagi diturunin," kata Iman, Rabu (7/10/2015).
Meski demikian Imam mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga BBM dengan alasan demi kesejahteraan rakyat. Namun, katanya, yang harus dipikirkan adalah bagaimana mengatasi neraca perdagangan migas yang defisit saat ini.
Pasalnya, kata dia, jika defisit migas tidak segera diatasi akan berdampak pada nilai tukar rupiah.
"Kalau untuk kesejahteraan rakyat itu bagus, tapi kalau untuk menutupi defisit itu enggak bisa. Defisit migas ini kan dapat mempengaruhi rupiah kita juga, ekspor-impor juga menjadi menurun. Ini yang harus segera dicarikan solusi," katanya.
Menurut Imam hanya ada satu cara untuk mengatasi defisit migas, yakni konversi BBM ke BBG atau bahan bakar lain. Dengan cara tersebut pertumbuhan ekonomi tidak akan dibebani impor BBM.
"Caranya hanya dengan konversi BBM ke BBG. Tapi ini dari dulu enggak jalan. Masa, selama lima tahun di pemerintahan yang dulu SPBG baru ada 10, sedangkan SPBU ada 5 ribu. Gimana mau konversi, makanya ini harus segera dijalankan. Minimal dalam lima tahun SPBG yang terbangun seribu lah, baru bisa dibilang berhasil," katanya.
Adapun defisit neraca migas sebesar 2,11 miliar dolar AS tersebut bersumber dari ekspor migas sebesar 4,64 miliar dolar AS dan impor migas mencapai 6,76 miliar dolar AS.