Suara.com - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank bergerak melemah sebesar 98 poin menjadi Rp14.650, Rabu (23/9/2015) sore. Pagi tadi rupiah di posisi Rp14.552 per dolar AS.
"Permintaan dolar AS yang terus meningkat menambah tekanan bagi mata uang rupiah. Meningkatnya permintaan dolar AS itu seiring dengan kebutuhan perusahaan untuk melakukan pembayaran utangnya di kuartal ketiga 2015, pada periode itu biasanya perusahaan membayar sebagian pinjaman luar negeri," ujar pengamat pasar uang Bank Himpunan Saudara Rully Nova.
Di sisi lain, aksi spekulan di pasar uang juga cenderung meningkat di tengah belum adanya kepastian kebijakan bank sentral Amerika Serikat (the Fed) untuk menaikan suku bunga acuannya.
"Ketidakpastian dari the Fed yang terus berlarut-larut membuat nilai wajar posisi rupiah tidak bisa diprediksi, sehingga potensi depresiasi masih akan terus berlanjut," ucapnya.
Rully mengharapkan Bank Indonesia maupun pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki kebijakan baru lagi yang fokus mengantisipasi rupiah agar tidak tertekan lebih dalam.
Kepala Riset MNC Securities, Edwin Sebayang menambahkan bahwa faktor depresiasi nilai tukar rupiah datang dari berbagai sentimen baik dari domestik maupun global. Sementara pengaruh dari luar datang dari Cina yang kembali mengalami penurunan manufaktur di sepanjang tahun ini menjadi sebesar 6,5 persen. Ini terendah dalam setahun terakhir dan akan berdampak pada Indonesia yang mengekspor komoditas.
Dari dalam negeri, pemangkasan target pertumbuhan Indonesia menambah kejelasan bahwa ekonomi nasional masih melambat ke depannya. Diproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,7 persen pada akhir tahun ini.
Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Rabu (23/9/2015) mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah menjadi Rp14.623 dibandingkan sebelumnya di posisi Rp14.486 per dolar AS. (Antara)