Suara.com - Pelemahan ekonomi Cina terus berlanjut sampai Negeri Tirai Bambu itu dibayangi deflasi tercepat dalam 6 tahun terakhir. Sehingga produsen Cina memangkas harga karena harga komoditas turun.
Sementara permintaan pasar tidak begitu tinggi. Keadaan ini memungkinkan Cina melakukan langkah-langkah stimulus lebih lanjut.
Reuters melansir, Indeks harga produsen (PPI) turun 5,9 persen dibanding periode Agustus tahun lalu. Ini penurunan terbesar sejak krisis keuangan global pada akhir tahun 2009. Sebenarnya pasar sudah memperkirakan penurunan 5,5 persen, setelah penurunan PPI terjadi 5,4 persen pada Juli.
"Perubahan PPI sangat memprihatinkan. Ini bisa mempengaruhi profitabilitas perusahaan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi konsumsi dan ekonomi," kata Ekonom dari Shenyin & Wanguo Securities Li Huiyong.
"Kita harus meningkatkan dukungan kebijakan," masukan Li.
Data Biro Statistik Nasional Kamis ini, Indeks harga konsumen (CPI) naik 2 persen dari tahun sebelumnya. Ini menjadi lebih tinggi.
Analis yang disurvei oleh Reuters telah memperkirakan CPI akan naik 1,8 persen, dibandingkan bulan lalu sebesar 1,6 persen.
"Risiko untuk China masih deflasi, bukan inflasi. Deflasi PPI akhirnya akan menurunkan CPI. Sementara permintaan agregat akan terus menjadi lemah," kata Ekonom Jepang Kevin Lai.
Terus jatuh harga komoditi di tingkat produsen makanan menjadi keuntungan di kalangan perusahaan Cina. Namun ini bisa meningkatkan beban utang mereka.
Sementara, Bank sentral Cina telah memangkas suku bunga 5 kali sejak November. Ekonom percaya jika pelonggaran kebijakan ini diperlukan untuk mencegah risiko deflasi. Bank sentral perlu menaikkan suku bunga 50 basis poin pada akhir tahun. (Reuters)