Ekonom UNS: Kembalikan Tahun Anggaran Negara dan Fiskal

Siswanto Suara.Com
Rabu, 26 Agustus 2015 | 14:15 WIB
Ekonom UNS: Kembalikan Tahun Anggaran Negara dan Fiskal
Dosen FEB UNS Solo, Jawa Tengah, Lukman Hakim, Rabu (26/8/2015). (suara.com/Labib Zamani)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, Lukman Hakim, meminta pemerintah segera mengembalikan tahun anggaran negara dan fiskal seperti semula. Pasalnya, selama ini antara tahun anggaran negara dan fiskal tidak sama.

"Sehingga membuat kondisi perekonomian di Indonesia sekarang terus terpuruk. Termasuk anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar," kata Lukman ketika ditemui Suara.com di kantor Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS, Rabu (26/8/2015).

Menurut Lukman tahun anggaran negara saat ini adalah Januari-Desember. Sementara tahun fiskal mulai April-Maret tahun berikutnya. Apabila dilakukan penggerakan ekonomi tidak bisa dilakukan, lantaran tidak anggaran.

Jika tahun anggaran negara dan fiskal disamakan maka akan memudahkan pemerintah melakukan berbagai pembangunan ekonomi, katanya.

"Jadi Januari-Maret itu merupakan tahun pengumpulan surat pemberitahuan tahunan pajak. Kalau ini diterapkan kembali oleh pemerintah, maka Februari tahun berikutnya pemerintah bisa melakukan penggerakan ekonomi," tambah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selain itu, lanjut Lukman, permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia karena antara pemerintah dengan DPR tidak sejalan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak sejalan dengan visi dan misi Presiden. Dan ini, kata Lukman, tidak hanya terjadi pada pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Artinya, birokrasi di Indonesia ini harus ada perbaikan. Kalau seperti ini terus siapapun presidennya kondisi perekonomian kita ya tidak akan bisa berubah. Justru sebaliknya, akan semakin terpuruk," kata dia.

Lebih lanjut, Lukman menilai selama 70 tahun Indonesia merdeka belum mampu menciptakan manufaktur yang kuat. Barang-barang yang diproduksi dan diekspor ke luar negeri tidak memiliki nilai tambah. Selain itu, bangsa Indonesia belum bisa beralih dari kebiasaan konsumtif ke produktif. Sehingga pemerintah juga tidak peduli dengan dengan kondisi tersebut.

Sementara itu untuk sektor riil barang hasil produksi yang dijual di dalam negeri lebih mahal dibanding barang impor dari negara lain. Alhasil, tak sedikit masyarakat Indonesia memilih membeli produk luar negeri dibanding dengan produk dalam negeri.

"Belum lagi suku bunga perbankan yang tinggi ini menjadi permasalahan bagi pelaku usaha kita. Bayangkan di negara lain suku bunga itu murah, banyak pelaku usaha di sana sukses mengembangkan produknya," katanya. (Labib Zamani)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI