Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan sejak dulu nilai tukar rupiah terhadap nilai tukar mata uang asing rentan jatuh. Terutama jika ada tekanan dari pasar global maupun pasar dalam negeri.
Hal tersebut lantaran porsi dana investasi asing yang masuk ke Indonesia sangat besar. Sehingga rupiah dapat bergejolak jika ada tekanan dari dalam maupun luar negeri.
"Kalau ditanya rentan, itu memang sudah menjadi persoalan dari dulu. Bukan hanya berkaitan dengan devaluasi Yuan beberapa waktu lalu. Kita memang dari dulu kalau sudah urusan kurs memang renta. Karena porsi dana asing yang masuk ke Indonesia sangat besar,” kata Darmin saat ditemui di kantornya, Selasa (25/8/2015).
Jumlah kepemilikan asing dalam Surat Utang Negara (SUN) Indonesia mencapai 38 persen atau sama dengan Malaysia. Lebih besar bila dibandingkan Thailand yang hanya mencatatkan 13 persen-14 persen porsi kepemilikan asing pada surat utangnya.
"Jadi kalau sebanyak itu asing, batuk sedikit atau asing keluar, kita goyah," katanya.
Dalam kondisi seperti ini, menurutnya, Indonesia sangat membutuhkan dan mengandalkan dana asing bukan hanya untuk investasi saja, melainkan untuk membeli saham atau SUN. Ini sangat membantu mendorong tekanan nilai tukar rupiah.
Selain itu, percepatan penyerapan anggaran termasuk belanja modal untuk investasi diyakini mampu membuat kondisi rupiah kembali menguat.
"Kalau Cuma mengandalkan Penanaman Modal Asing (PMA), aduh itu susah, sudah sulit deh. Jadi harus ada investasi besar yang masuk, itu bisa memberikan efek positif. Kita juga perlu uang dari luar. Yang akan dilakukan mempercepat belanja dan misalnya mempercepat Perpres kereta api ringan (LRT)," ungkapnya.
Akibat perlambatan ekonomi dunia, kinerja ekspor perdagangan hampir seluruh negara mengalami pelemahan. Hal tersebut menyusul adanya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Cina yang mendevaluasi mata uang Yuan untuk merangsang kinerja ekspor.
Kebijakan tersebut akhirnya disusul Vietnam yang sengaja mendepresiasi Dong. Hal ini membuat perekonomian global menjadi bergejolak.
Sementara nilai tukar mata uang beberapa negara hanya sedikit terpengaruh fenomena super dolar Amerika Serikat (AS) sehingga memicu kebijakan mendepresiasi mata uang agar barang ekspor lebih murah dan memiliki daya saing.