Suara.com - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu (12/8/2015) bergerak melemah 149 poin menjadi Rp13.756. Sebelumnya di posisi Rp13.607 per dolar AS.
"Tekanan pada rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen eksternal. Kebijakan pemerintah Tiongkok yang kembali memangkas nilai yuan terhadap dolar AS berimbas pada mata uang di kawasan Asia-Pasifik, termasuk rupiah," ujar pengamat pasar uang Bank Himpunan Saudara, Rully Nova di Jakarta, Rabu sore.
Belum adanya kepastian dari bank sentral Amerika Serikat (AS) mengenai kenaikan suku bunganya (Fed fund rate) membuat pelaku pasar uang sedikit kesulitan mengukur valuasinya terhadap aset keuangan di negara berkembang. Sehingga cenderung memutuskan untuk keluar dari pasar berisiko.
"Kendati demikian, devaluasi yuan diperkirakan hanya sesaat sehingga rupiah masih berpotensi untuk kembali bergerak menguat," ucapnya.
Menurut dia, di tengah koreksi mata uang rupiah seperti saat ini, pemerintah dapat memanfaatkannya untuk mendorong kinerja ekspor domestik. Produk ekspor Indonesia juga masih cukup kompetitif di pasar global.
Sementara itu, Ekonom Riset Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra mengatakan bahwa sebagai negara ekonomi terbesar kedua dunia, devaluasi mata uang Tiongkok akan berdampak pada perdagangan global, karena akan membuat Tiongkok memproduksi lebih banyak barang yang kompetitif dan menghalangi membeli barang di pasar global karena lebih mahal.
"Kondisi itu berdampak pada turunnya mata uang regional sehingga dapat memicu risiko arus keluar (outflow) portofolio, karena 'yield' kepemilikan aset berdenominasi mata uang lokal akan tertutupi oleh potensi rugi kurs, termasuk Indonesia," katanya.
Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Rabu ini mencatat nilai tukar rupiah bergerak melemah menjadi Rp13.758 dibandingkan sebelumnya di posisi Rp13.541 per dolar AS. (Antara)