DPR Setuju Status Kontrak Freeport Jadi Izin Usaha Khusus

Kamis, 11 Juni 2015 | 15:55 WIB
DPR Setuju Status Kontrak Freeport Jadi Izin Usaha Khusus
Area pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua, Selasa (19/8). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menyambut baik rencana pemerintah yang akan mengubah status Kontrak Karya (KK) milik PT Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Kurtubi menjelaskan, jika Freeport masih menggunakan sistem kontrak KK, posisi negara dengan Freeport sama rata.

Hal ini membuat Freeport bisa leluasa menolak aturan dari pemerintah, misalnya berkaitan dengan besaran royalty yang tidak diatur dalam kontrak.  Tapi bila menggunakan rezim IUPK, maka Freeport harus tunduk terhadap apa pun peraturan yang diterbitkan pemerintah.

“Tanggapan saya itu langkah bagus, langkah maju. Karena pemerintah jadi punya control terhadap perusahaan tersebut. IUPK itu memposisikan negara lebih tinggi dari Freeport, ini baik sekali,” kata Kurtubi saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (11/6/2015).

Meski dinilai sebagai sebuah terobosan luar biasa, Kurtubi mengungkapkan langkah tersebut masih banyak memiliki kelemahan.

Dia mengatakan, dengan status IUPK membuat negara tidak memiliki mekanisme kontrol terhadap biaya yang dikeluarkan Freeport. Negara juga tidak memiliki kewenangan untuk menelusuri jika ada biaya yang tidak wajar.

"Biaya yang dikeluarkan usaha tambang dalam menggunakan IUPK dan KK, negara tidak punya itu. Negara tidak tahu, tidak ada kontrolnya. Itu ada biaya-biaya yang tidak wajar katakanlah, yang jadi unsur pengurangan dari penerimaan negara," jelasnya.

Menurut Kurtubi, hal ini merupakan kelemahan fatal dari IUPK atau sistem konsesi di jaman kolonial. Royalti yang relatif sangat rendah.

"Kalau di migas pajak per royalti itu sekitar 85 persen. Nah kalau ditambang pajaknya kira kira 30 sampai 33 persen. Kalau emas 3,75 persen, masih dibawah 40 persen negara terima. Amat sangat kecil," tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI