Kisah Penjual Makanan Keliling Sukses Jadi Bos Kerupuk

Siswanto Suara.Com
Minggu, 07 Juni 2015 | 19:50 WIB
Kisah Penjual Makanan Keliling Sukses Jadi Bos Kerupuk
Uang rupiah [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ramalius meninggalkan profesi pedagang makanan harian keliling menjadi pembuat kerupuk merah pada 2004.

Ia belajar dengan mengamati langsung di tempat pembuatan kerupuk merah.

Dengan modal awal Rp15 juta, kini setelah 11 tahun menggeluti usaha itu, tak kurang dari 30 ton kerupuk merah berhasil diproduksi dalam satu bulan dengan omset mencapai Rp150 juta.

Memang kerupuk merah hanya makanan pelengkap yang lazim dijumpai saat menyantap lontong sayur, lontong pecal, nasi goreng, soto, mi goreng hingga mi rebus hingga nasi ampera.

Akan tetapi, berkat kejeliannya saat menjadi penjaja makanan harian keliling yang melihat tingginya permintaan, kini kerupuk merah buatan Ramalius dengan merek Tiga Putri sudah dipasarkan hingga ke Bandung dua ton setiap bulan.

"Kerupuk merah susah mendapatkannya, permintaan tinggi dengan modal nekat saya coba membuatnya sendiri," ucap pria kelahiran Surian Solok 30 November 1972 itu.

Di tengah kesibukan membuat kerupuk merah di pabrik kecilnya di komplek perumahan Unand Gadut Kota Padang, bapak empat anak itu menceritakan awalnya sama sekali tidak punya ilmu membuat kerupuk merah, sehingga ketika dicoba pertama kali kerupuk yang dibuat gagal karena salah dalam mengaduk adonan.

"Pengalaman pertama membuat kerupuk hasilnya keras, saya rugi Rp6 juta," ujarnya yang kini telah memiliki tujuh karyawan.

Ternyata ada yang tidak diajarkan oleh orang tempat ia belajar membuat kerupuk karena Ramalius hanya mengamati saja.

Rupanya kesalahannya saat mengaduk dan mencampurkan adonan tepung tapioka, garam dan pewarna makanan menjadi salah satu kunci agar kerupuk merah yang dihasilkan bagus, lanjut dia.

Tidak patah arang, Ramalius terus mencoba menyempurnakan kerupuk buatannya, hasilnya dalam satu bulan ia mampu memproduksi hingga setengah ton sebulan.

"Saat itu semua masih manual, belum ada mesin, untuk bisa setengah ton sebulan saja repot," kata suami dari Yasnida.

Untuk pemasaran ia sudah punya jaringan saat itu sehingga tidak sulit menjual kerupuk yang dibungkus dalam kemasan lima kilogram yang kini dijual Rp48 ribu.

Musibah Datang

Dua tahun berjalan usaha kerupuk merah yang dirintis berkembang karena Ramalius mulai menggunakan mesin dalam produksi sehingga dapat menghasilkan dua ton per bulan.

"Semua mesin saya rancang sendiri karena belum ada pabrik yang membuat mesin khusus untuk memproduksi kerupuk merah," kata dia.

Namun, musibah datang menghampiri Ramalius karena kompor meledak tempat usahanya terbakar pada 2006 menyebabkan seluruh alat produksinya ludes.

Tidak hanya peralatan, kaki Ramalius, juga sempat disambar api sehingga mengalami luka bakar ketika itu.

"Uang habis, oven dan semua peralatan produksi juga tidak bisa dipakai," katanya.

Karena ingin terus melanjutkan usahanya yang telah menghidupinya, Ramalius mencoba mencari pinjaman modal untuk mulai kembali.

Berdasarkan anjuran tetangga ia mengajukan permohonan bantuan modal usaha ke Lembaga Amil Zakat PT. Semen Padang.

"Alhamdulillah permohonan ditanggapi LAZ Semen Padang dibantu Rp10 juta yang langsung dibelikan alat alat, berupa mesin potong, alat pengaduk dan oven," kata dia.

Usai musibah, Ramalius kembali memulai produksi kerupuk merah dan produknya mendapatkan pasar yang cukup luas.

Setelah tiga tahun berjalan ia pun membeli satu mobil boks untuk memaksimalkan pemasaran sehingga usaha semakin berkembang.

"Karena ingin maju keuntungan sebagian saya tabung akhirnya bisa beli mobil boks untuk mengantar kerupuk, dulu hanya menunggu orang menjemput, dengan ada mobil pemasaran lebih mudah," paparnya.

Kini rata-rata sehari ia mampu memproduksi kerupuk merah hingga satu ton dibantu tujuh orang karyawan. Meski usahanya sudah besar, Ramalius tetap terlibat langsung dalam proses produksi demi menjaga kualitas.

Sambil terus mengaduk campuran adonan tepung tapioka, tepung kanji, garam dan pewarna makanan dalam gentong berwarna biru menggunakan sendok kayu berukuran satu meter, Ramalius mengawasi setiap proses pembuatan hingga menjemur.

Setelah adonan tercampur dengan sempurna beberapa pekerja mulai mempersiapkan oven besar berukuran 1x2 meter untuk memasak adonan itu dengan kayu bakar .

"Walaupun pengadukan sudah bagus pengapian tidak baik maka hasilnya akan jelek," kata dia.

Adonan berbentuk bubur itu dimasak dalam cetakan berbentuk batangan dengan panjang satu meter direbus selama tujuh jam dan setelah dingin didiamkan selama dua hari.

Setelah batangan kerupuk didinginkan selama dua hari dilanjutkan dengan memotong tipis menggunakan mesin yang ia ciptakan sendiri.

"Usai dipotong kerupuk akan dijemur memanfaatkan panas matahari di mana jika cuaca bagus bisa 45 ton sebulan diproduksi," katanya.

Setiap pagi proses kerja akan dimulai dari memotong batangan yang sudah didinginkan untuk dijemur, dilanjutkan dengan membuat adonan hingga memasaknya.

Ramalius mengakui produksi kerupuk bergantung cuaca karena harus dijemur, sebelumnya ia mencoba membuat mesin pengering tapi jebol, akhirnya saat ini kalau hujan akan menghambat pembuatan.

Saat ini untuk pemasaran, Ramalius sudah punya pasar sendiri bahkan ia mengaku kewalahan memenuhi permintaan.

"Pelanggan biasanya menelepon minta berapa lalu diantar dengan mobil boks, ada juga yang menjemput ke pabrik," kata dia.

Ia mengatakan kerupuknya dipasarkan di Padang, Dharmasraya hingga ke Jambi dan Bandung.

Sinergi Usaha

Memaksimalkan pemasaran kerupuknya, Ramalius menjalin kerja sama dengan produsen mi kuning di mana ia membantu memasarkan mi sebaliknya pengusaha mi juga menolong pemasaran kerupuknya.

"Kalau orang butuh mi, pasti perlu kerupuk sebagai pelengkap, berapa mi terjual sebanyak itu pula kerupuk diperlukan," ucapnya.

Ia bahkan mengaku belum sanggup memenuhi tingginya permintaan karena masih banyak yang belum terlayani.

"Kerupuk yang dibuat hari ini sudah dipesan dua minggu lalu, kalau pesan sekarang baru dua pekan ke depan diantar," kata dia.

Untuk bahan baku saat ini ia juga sudah bekerja sama dengan pabrik yang ada di Medan yang langsung mengantarkan ke pabrik miliknya.

"Dulu susah karena membeli sendiri ke pasar, sekarang sudah ada yang mengantar, setiap bulan sekitar 45 ton tepung diantar," katanya.

Terkait suka duka dalam menjalankan usaha Ramalius menceritakan yang paling sulit mengelola karyawan.

"Sulit ditebak apa maunya, kalau ingin gaji besar diberi borongan, tapi juga tidak maksimal, kalau harian kurang giat bekerja," kata dia.

Akhirnya, ia mencoba membangun komunikasi dengan karyawan agar paham apa yang diinginkan.

Belajar dari pengalamannya mengelola usaha ia menemukan satu kunci yaitu menjaga kualitas barang agar tetap konsisten.

"Kalau barang tidak bagus, orang tidak mau lagi membeli, pembeli akan memilih mana kerupuk yang bagus," ujarnya.

Untuk itu, ia selalu disiplin mengawasi setiap proses apalagi jika produksi sudah banyak peluang hasil tidak bagus juga besar.

Ke depan, ia punya rencana untuk memperluas usahanya dengan membuat pabrik baru agar produksi lebih meningkat. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI