Suara.com - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menilai data pangan yang dikeluarkan pemerintah sedikit kacau. Makanya harus ada evaluasi terhadap kebijakan pertanian dan perdagangan nasional.
Dwi mencontohkan soal data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait stok pangan di Indonesia. Terutama beras. BPS selalu menghitung stok beras surplus atau berlebih.
Namun pada kenyataan pasar, harga beras terus naik. Keadaan ini dinilai sangat berbanding terbaik dengan data yang dirilis oleh BPS. Dengan pasokan beras surplus, semestinya harga beras stabil.
“Data pangan di Indonesia agak kacau. Di mana produksi beras nasional selama 2014 sebesar 43 juta ton dengan konsumsi beras tertinggi di seluruh dunia sekira 139 ribu kg per tahun. Harusnya kita masih punya surplus 28 juta ton. Padahal kenyataan yang ada tidak demikian, harga beras stabil tinggi pada Febuari-Maret harga turun karena masuk masa panen,” jelasnya saat ditemui dalam diskusi 'Pangan Kita' di Jakarta, Senin (25/5/2015).
Dia juga mencatat data BPS berbeda dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dwi mengatakan Kalla pernah menyatakan konsumsi beras 124 ribu kg per tahun per kapita. Seharusnya Indonesia mempunyai surplus hampir 10 juta ton.
"Ini data dari mana lagi yang digunakan oleh pak JK? Kok beda? Jadi ini ada masalah di data dan manajamen pangan di Indonesia. Ada politik pangan," jelasnya.
Dwi menilai, ada yang tidak beres dengan data produksi pangan nasional Indonesia. Dia berharap, hal tersebut tidak terulang lagi di masa mendatang.
Oleh sebab itu, lanjut dia, pemerintah diharapkan mampu menyelesaikan masalah manejemen pangan agar tidak mengganggu kebijakan terkait pertanian dan perdagangan di Indonesia.
“Ke depan pemerintah harus memperhatikan dengan baik bagaimana manejemen pangan dan data pangan di Indonesia. Sebenarnya kita bisa pakai teknologi pengindraan jauh. Tapi Undang-Undang (UU) Statistik tidak memperbolehkan lembaga lain merilis data selain oleh BPS. Ini yang harus dikaji kembali,” pungkasnya.