Suara.com - Pengusaha tekstil merasa terbebani dengan rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik bagi golongan I-3 dan I-4 pada Mei 2015. Pasalnya, kenaikan TDL dinilai akan mengurangi daya saing industri manufaktur Indonesia dan menjadi pukulan berat bagi sektor Industri akibat pembengkakan biaya produksi.
Pengusaha tekstil merasa terbebani dengan rencana kenaikan TDL bagi pelanggan golongan I-3 dan I-4. Kebijakan tersebut dinilai kontraproduktif dengan agenda pemerintah dan melemahkan daya saing tekstil dalam negeri.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia ketar-ketir menghadapi kenaikan TDL tersebut. Ketua API Ade Sudarat mengatakan salah satu sektor usaha yang menjerit adalah industri tekstil.
Dengan kenaikan tarif listrik praktis akan menambah beban kalangan pengusaha karena ongkos produksi menjadi bertambah. Lazimnya industri tekstil, konveksi dan sejenisnya banyak menggunakan energi listrik.
“TDL naik sampai 38 persen, tapi itu (TDL) seperti BBM jadi ada trickle down effect, yang tidak hanya (TDL) naik sendiri tapi juga mengerek harga yang lain seperti bahan baku, transportasi dan bahan pendukung lainnya. Oleh karena itu, meski biaya listrik menyumbang 30 persen biaya produksi, kenaikan biaya produksi tidak bisa langsung dihitung karena dampaknya yang besar,” kata Ade saat ditemui di kantor BKPM, Jakarta, Rabu (6/5/2015).
Ade membeberkan catatannya, sepanjang Januari-Maret 2015 terdapat 1,6 juta spindle benang yang berhenti berproduksi. Ini terjadi karena dampak dari kenaikan tarif listrik tahun lalu. Banyak industri pemintalan benang menaikkan harga sehingga kalah bersaing.
"Saat harga jual produk naik, benang impor Cina akan datang," katanya.
Ia menjelaskan komponen listrik merupakan biaya produksi nomor dua terbesar setelah bahan baku. Biaya listrik, kata dia, mempengaruhi biaya produksi sebesar 18 hingga 26 persen.
Dia mengatakan dengan adanya kenaikan TDL harusnya diimbangi dengan pemberian insentif supaya tidak memberatkan pengusaha. Namun, insentif yang diberikan diharapkan berupa penggantian energi yang murah, seperti pengembangan energi biotermal, micro hydro atau sampah.
“Kalau listrik naik, seenggaknya ada insentif buat pelaku industri agar tidak terpukul. Karena kenaikan TDL ini saja sudah banyak perusahaan tekstil yang melakukan PHK karyawannya karena biaya produksi yang membengkak. PHK itu merupakan jalan tengah,” katanya.
Seperti diketahui, PT PLN (Persero) menetapkan kenaikan tarif listrik pelanggan nonsubsidi pada Mei 2015. Tarif listrik nonsubsidi untuk lima golongan pelanggan ditetapkan sebesar Rp1.514,81 per kWh. Tarif tersebut mengalami kenaikan Rp48,92 per kWh atau 3,3 persen dibandingkan periode April 2015 sebesar Rp1.465,89 per kWh.