Indonesia tidak kaya akan minyak atau gas bumi, melainkan Indonesia kaya akan potensi energi baru terbarukan, yakni panas bumi dan air. Namun sayang, sampai saat ini Indonesia belum memandang potensi tersebut sebagai peluang untuk menutupi kekurangan energi selama ini.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Gugus Kerja Percepatan Pembangunan Energi Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, William Sabandar, dalam forum Tropical Landscape Summit di Hotel Shangri La, Jakarta, Selasa (28/4/2015).
Menurutnya energi baru terbarukan merupakan masa depan energi karena energi fosil yang kian menipis. namun baru enam persen yang digunakan dan pertumbuhannya sangat lama.
"EBT (energi baru terbarukan) ditargetkan mencapai 23 persen komposisinya dalam energi nasional pada 2015. Tapi sampai saat ini baru enam persen yang digunakan. Padahal Indonesia kaya akan potensi EBT," katanya.
William mengatakan untuk meningkatkan penggunaaan energi baru terbarukan tersebut, pemerintah akan menggelontorkan dana 10 kali lipat lebih banyak, dari yang sebelumnya hanya Rp1 triliun menjadi Rp10 triliun.
"Ini diharapkan dapat memacu berbagai energi terbarukan, seperti solar cell, listrik dari pembangkit angin, panas bumi (geothermal), air, dan lainnya," kata dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anthonie Versluis, Konsultan Energi Roland Berger, mengingat adanya krisis energi yang diperkirakan akan terjadi pada 2030 ketika Indonesia bukan lagi penghasil migas, bahkan berpotensi menjadi pengimpor energi terbesar di dunia, dari posisi ke 14 saat ini.
"Kalau tidak segera diperbaiki maka Indonesia akan menjadi negara yang ketergantungan impor energi dari negara lain. untuk menumbuhkan pemanfaatan EBT bukan hanya dengan menggunakan bisnis seperti bisanya, tetapi perlu terobosan baru," kata dia.
Anthonie menyontohkan kaitan negara tropis dengan energi baru dan terbarukan di mana potensi mengembangkan EBT di daerah tropis mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan belahan bumi lainnya, terutama karena potensi energi surya.
"Di Jakarta, 55 persen konsumsi listrik adalah untuk AC. Sementara teknologi AC pun belum ramah lingkungan," kata dia.
William menjelaskan, seperti pemanfaatan energi panas bumi, Indonesia mempunyai potensi hingga 29 gigawatt, sementara yang dimanfaatkan sampai saat ini baru 5 persen. Salah satu masalah pengembangan panas bumi adalah terkait tarif, di mana pemerintah terus mengevaluasi agar tarif yang ditetapkan menarik baru investor.
"Untuk air, kita punya potensi hingga 75 gigawatt, sampai saat ini kurang dari 10 persen yang sudah dikembangkan, baik itu PLTA atau mikro hidro," katanya.
Tidak hanya dari pemanfaatan energi baru terbarukan untuk listrik saja, saat ini pemerintah juga mendorong peningkatan penggunaan bahan bakar nabati untuk biodiesel. Saat ini mandatori penggunaan bahan bakar nabati dalam solar masih 15 persen.
"2019 harus meningkat jadi 17 persen, 2020 rencananya mandatori BBN (bahan bakar nabati) mencapai 20 persen," katanya.