Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil menyambut baik rencana PT Pertamina untuk menerbitkan produk bensin jenis Petralite yang bakal menggantikan bensin jenis Premium.
Menurut Sofyan, jika ini dilakukan dengan serius maka Pertamina dapat mengurangi ketergantungan Indonesia megimpor minyak mentah untuk bahan bakar seperti Premium dan Pertamax. Namun, jika tidak berhasil maka keberadaan Pertalite malah berpotensi menambah impor.
Sofyan mengatakan, mengatakan banyak tantangan yang harus dihadapi oleh PT Pertamina (Persero) untuk menerbitkan produk bensin jenis Pertalite. Salah satunya adalah terbatasnya kilang milik Pertamina serta adanya potensi impor.
“Sulit untuk memproduksi bensin Pertalite dengan RON 91-92, karena untuk memproduksinya lebih intensif dibandingan dengan produksi Premium selama ini,” katanya saat dijumpai di kantor Kementerian Perekonomian, Jumat (17/4/2015).
Sofyan menduga, jika Pertamina tidak mampu memproduksi Pertalite dalam negeri, maka Pertamina harus mengimpor dari luar negeri.
"Kalau kita mau hilangkan RON 88, maka terpaksa kita tutup semua kilang. Implikasinya kalau kita tutup kilang kita, kita terpaksa impor produk-produk itu yang sudah jadi 100 persen," jelasnya.
Menurut Sofyan, hal itu lah yang menjadi dilema Pemerintah dan Pertamina. Jika Pemerintah mengijinkan Pertamina untuk impor lebih banyak tahun ini, dikhawatirkan akan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan.
"Tapi saya pikir secara besar, (impor) jangka pendek-menengah tidak apa-apa. Jadi walaupun belum kita tutup kilang tua, kilang kita bisa produksi 100 ribu barel per hari begitu kita tutup, kita harus impor 100 ribu juga," katanya.
Sebelumnya, manajemen Pertamina menyatakan produk baru bahan bakar minyak (BBM) Pertalite akan dilego di kisaran Rp 7.300 per liter sampai Rp 8.600 per liter.
Nantinya, penetapan harga Pertalite bakal mengikuti mekanisme pasar seperti halnya penjualan produk Pertamax.