Suara.com - Berkaos oblong berkerah oranye, nyeker, dan bercelana berbahan denim, Joko Hari Setyadi tengah asik melongok barang-barang 'tak berwujud' di garasi rumahnya di kawasan Kali Malang Jakarta Timur. Dia tampak sibuk bersama seorang pegawai tetapnya.
Barang-barang itu berbentuk kotak, bermaterial kayu, lalu ditempel lempangan alumunium bekas minuman kaleng bersoda bermerk coca-cola dan sejenisnya. Benda itu diselimuti kertas alumunium tipis mengkilap.
"Apa itu," tanya suara.com saat berkunjung di rumahnya. "Ini mau saya jadikan cermin, lalu yang satu lagi jam dinding," jelas Joko seraya tak berhenti tersenyum.
Joko mengatakan semua itu masih contoh produk. Sehingga bentuknya masih berantakan. Barang-barang itu ada di garasi rumah tingkat 2 Joko. Di rumahnya itu, Joko mendesain produk-produk handy craft atau kerajinan tangan untuk dijual.
Setelah asik memamerkan benda 'tak jelas' itu Joko mengajak Suara.com ke lantai 2 rumahnya. Rumahnya itu juga difungsikan untuk usaha kos-kosan.
"Ini dia meja yang saya desain dan sudah dijual ke luar negeri seperti Eropa dan Amerika Serikat," kata Joko tanpa ditanya.
Suara yang medok Jawa Timuran, gaya yang sederhana, tak menunjukkan jika pria kurus itu mantan general manajer di sebuah perusahaan kayu di Tegal. Dia memutuskan berhenti bekerja di puncak kariernya itu.
Selama 14 tahun, Joko sudah berpindah perusahaan selama 9 kali. Dia pernah mejadi orang penting di perusahaan Presiden Joko Widodo, PT Rakabu selama 6 bulan. Saat itu, Joko menjadi RND atau perencana dan penelitian produk.
"Saya dengan RI 1 sudah kenal dekat dulu. Mungkin kalau ketemu, dia masih ingat. Tapi kita juga pahami kesibukan beliau," kata Joko seraya menyeruput teh manis buatan istrinya.
Menjadi RND di perusahaan Jokowi, membuat posisi Joko menjadi penentu kemajuan perusahaan Jokowi saat itu. Terutama menentukan produk kerajinan mebel Jokowi laku atau tidak.
"RND itu menentukan dua tahun yang akan datang ini produk kita masih diminati pasar apa nggak. RND ini menentukan produk itu laku apa nggak," jelasnya.
Kaleng bekas
Sudah 6 tahun lalu Joko merintis Valia Craft, perusahaan kreatif penghasil barang-barang daur ulang. Joko mengandalkan pangsa pasar luar negeri, bulan pasar domestik. Sebab menurutnya, peminat kerajinan tangan Indonesia justru sangat diminati di Eropa dan Amerika Serikat.
Produk-produk yang dia hasilkan seperti pajangan lukisan atau wall panel, meja kursi, dan cermin. Semua itu berbahan dasar daur ulang.
"Saya hidup di jakarta. Kalau material natural, itu harga mahal. Makaya saya temukan kaleng. 6 tahun lalu lalu mulai bikin dikit-dikit. saya pernah pakai drum minyak bekas untuk membuat kursi dan meja," jelas dia.
Di awal merintis usaha itu, Joko menemukan kesulitan. Terutama dalam merancang desain-desain produk kreatif. "Mulai dari sisi konstruksi, material. Mengolah itu awalnya berat. Pas desainnya ditemukan, nah itu mudah," jelas dia.
Berhitung keuntungan bisnis daur ulang
Di saat pelemahan rupiah beberpa bulan ini, Joko tersenyum lebar. Selama 2 bulan ini dia senang bisa memberikan bonus untuk belasan pekerjanya.
Joko bercerita, setip dolar Amerika Serkat naik, dia senang. Sebab hampir semua produk yang dia hasilkan dijual ke Eropa dan Amerika Serikat. Dia pun bertransaksi menggunakan dolar. Sementara bahan baku semua dari dalam negeri dan dibeli dengan rupiah.
"Semua produk saya pakai bahan daur ulang atau barang bekas. Di dapat dari kumpulan pemulung. Dibuat kerajinan dan dijual ke luar negeri, dibeli dengan Dolar," jelas Joko.
Untuk produksi wall panel berbentuk semacam lukisan. Dalam 2 bulan, dia bisa menghasilkan 2.400 buah wall panel yang dikerjakan 15 orang. Ribuan wall panel itu cukup mengisi penuh sebuah peti kemas berukuran 40 feet.
Sebuah wall panel dihargai USD 30 dolar. Sehingga sekali ekspor wall panel, Joko mempunyai nilai ekspor sebesar USD 72 ribu atau Rp 950 jutaan (kurs dolar Rp 13.200). Belum lagi dari produksi furniture berupa meja. Nilai ekspornya bisa mencapai USD 28 ribu atau setara Rp 370 juta. Dengan catatan, itu nilai ekspor selama 2 bulan. Jika setahun, tinggal dikalikan 6 saja.
Dari nilai ekspor itu, keuntungan bersih yang diterima Joko sebesar 12 persen. Keuntungan itu sudah dipotong biaya sana sini seperti membayar pegawai, pajak, nilai balik modal dan tabungan untuk pengembangan usaha.
"Jadi saya nggak perlu manaikkan harga jual barang. Karena pendapatan saya akan naik sendiri seiring harga dolar naik," paparnya.
Selama 6 tahun menjadi pengusaha industri kreatif, Joko belum pernah menjual produknya di dalam negeri. Dia selalu mengekspor. Alasannya, lebih menguntungkan menjual produknya ke Eropa dan Amerika.
Joko mengatakan warga kedua negara itu sangat menghargai sebuah produk seni. Selain itu sifat konsumtif orang Eropa dan Amerika juga membuat untung.
Joko juga mengembangkan produk kreatif furniture. Joko memberikan gambaran ekspor produksi furniture-nya. Joko membagi musim ekspor produk furniturenya menjadi 2, musim dingin dan musim panas. Konsumen Joko akan membeli meja sebanyak 2 kali dalam setahun. Sebab kayu yang digunakan untuk musim dingin dan musim panas akan berbeda.
"Meja yang dibeli dan dipakai selama musim dingin tidak akan dipakai di musim panas. Karena akan rusak, mereka akan beli lagi meja untuk musim panas," jelas dia.
Beda dengan orang Indonesia yang cenderung membeli sebuah produk furniture sekali untuk seumur hidup. "Misal kaki meja patah, diperbaiki. Kalau orang Eropa dan Amerika nggak begitu. Mereka beli lagi dan pesan lagi," lanjut Joko.
Begitu juga soal ketertarikan orang Eropa dan Amerika dengan kerajinan tangan Indonesia.
"Kalau orang Eropa melihat produk handy craft itu sebuah benda unik dan eksotik. Jadi naluri seninya itu tinggi. Meski yang mereka beli benda yang dibuat dari barang bekas. Orang Indonesia? Mereka lebih suka beli barang baru dan nggak mau beli barang yang terbuat dari barang bekas. Meski ada, tapi sedikit," ceritanya.
Butuh suntikan modal
Usaha Joko beromset puluhan ribu dolar ini masih tergolong kecil. Itu kata Joko. Sebab selma 6 tahun usaha, Joko belum mempunyai kantor dan gudang penyimpanan produknya. Dia masih memerlukan suntikan dana Rp2 miliar. Uang itu untuk membeli gudang dan membangun kantor.
Selama ini Joko masih bekerjasama dengan perusahaan furniture dan rotan olahan di Cirebon. Joko menitip produknya untuk dipasarkan. Sebab untuk tembus pasar internasional atau ekspor, Joko harus mempunyai beberapa syarat. Semisal LC dari bank sebagai pembayaran.
"Setidaknya saya harus mempunyai angka Rp2 miliar. Untuk home base produksi, bukan manajemen. Saya harus punya sendiri," jelas dia.