Kondisi Penerbangan Domestik Nasional Mengarah ke Monopoli

Doddy Rosadi Suara.Com
Sabtu, 21 Februari 2015 | 06:59 WIB
Kondisi Penerbangan Domestik Nasional Mengarah ke Monopoli
Penumpang Lion Air yang terlantar di Bandara Soekarno-Hatta. (Suara.com/Bowo Raharjo)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ekonom dari Universitas Sam Ratulangi Manado, Agus Tony Poputra, menyatakan bahwa persoalan penumpang Lion Air yang terlantar pada beberapa hari terakhir ini perlu dijadikan momentum untuk menelaah kembali kondisi persaingan penerbangan tanah air.

“Kami mendesak pemerintah dan pihak terkait memerhatikan monopoli yang terjadi di bisnis penerbangan domestik,” ujarnya dalam surat elektronik yang diterima suara.com, Sabtu, (21/2/2015).

Menurut dia, praktik monopoli memiliki market power yaitu menetapkan harga sendiri jauh di atas harga dalam persaingan sempurna. Hal ini menimbulkan efek yang kurang menguntungkan bagi konsumen.

Dalam bisnis penerbangan, perilaku monopoli yang sesungguhnya terlihat saat peak season. Sebaliknya pada low season, perilaku ini kurang tampak karena terkendala upaya meningkatkan loading factor yang umumnya rendah lewat harga murah.

Poputra mengatakan, praktik monopoli yang kerap terjadi di bisnis penerbangan memiliki 3 akibat buruk, baik bagi masyarakat sebagai konsumen, bagi pemerintah dan bagi perusahaan penerbangan tersebut.

Pertama, kata Poputra, kondisi penerbangan domestik di Indonesia saat ini cenderung mengarah ke monopoli. Pasalnya, terdapat satu grup perusahaan yang diperkirakan menguasai lebih dari 50 persen aktivitas penerbangan.

“Kepastian angkanya perlu dikaji oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), namun kemungkinan besar posisinya seperti itu. Dan mengingat penerbangan merupakan bisnis strategis dan membawa dampak luas bagi masyarakat, maka monopoli kurang menguntungkan. Baik bagi masyarakat maupun pemerintah,” papar Poputra.

Karena itu, ucap Poputra, praktik monopoli berpotensi menimbulkan masalah bagi pemerintah dan masyarakat. Bahkan, lanjut dia, pemerintah akan semakin tergantung pada pelaku monopoli atau monopolist. Akibatnya, akan menyandera kebijakan pemerintah yang terkait dengan bisnis penerbangan. Dampaknya, persaingan usaha penerbangan semakin menjadi tidak sehat.

Kedua, perusahaan yang memonopoli penerbangan pasti memiliki banyak koneksi penerbangan. Hal ini tentunya membutuhkan time schedule yang ketat. Keterlambatan pada suatu titik dapat mengganggu skedul secara keseluruhan. Untuk tujuan tersebut, perusahaan penerbangan dimaksud dapat saja menaikan “risiko yang dapat diterima” atau lebih berani mengambil risiko.

“Di lapangan dapat terlihat pada cuaca buruk ada penerbangan tertentu yang tetap berani mendarat sedangkan penerbangan yang lain mengalihkan pada bandara yang lain. Selain itu, skedul pemeliharaan pesawat dapat saja dilanggar. Di sini keselamatan penumpang menjadi taruhan,” terang Poputra.

Ketiga, posisi monopoli membuat konsumen tergantung pada layanan penerbangan monopolist. Konsumen kurang memiliki pilihan untuk menghindari perusahaan penerbangan yang memberikan kualitas kurang baik. Dalam dunia penerbangan Indonesia, perbedaan kualitas sangat terlihat antara perusahaan penerbangan yang satu dengan lainnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI