Ekonom: Freeport Tak Layak Terima Perpanjangan Kontrak

Doddy Rosadi Suara.Com
Selasa, 27 Januari 2015 | 07:52 WIB
Ekonom: Freeport Tak Layak Terima Perpanjangan Kontrak
Area pengolahan mineral PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua. (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah tidak mempunyai ketegasan dalam menghadapi PT Freeport yang ditunjukkan melalui perpanjangan kerja sama dengan perusahaan tersebut, kata ekonom dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, Prof Dr Ahmad Erani Yustika.

"Perpanjangan kontrak kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan PT Freeport untuk durasi enam bulan ke depan seharusnya tak perlu dilakukan karena banyak hal yang diingkari oleh perusahaan asing yang mengeksplorasi tambang emas di Papua ini," katanya.

Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB itu mengatakan hingga saat ini PT Freeport belum juga membangun smelter di Papua, padahal kewajiban itu seharusnya sudah direalisasikan sejak lima tahun lalu.

Bahkan, pembayaran royalti pun juga tidak terpenuhi dan sering mengalami keterlambatan.

Jika mengacu pada kondisi itu, kata Erani, seharusnya pemerintah bersikap tegas. Perusahaan manapun yang tidak taat aturan harusnya ditindak tegad, tak terkecuali PT Freeport, bahkan perpanjangan kontrak yang baru ditandatangani itu, seharusnya tak perlu dilanjutkan.

Ia mengakui kebijakan yang diambil pemerintah memperpanjang kontrak kerja dengan PT Freeport tersebut disesalkan banyak kalangan karena dampaknya sangat luas bagi negara.

Menyinggung perusahaan-perusahaan pertambangan lainnya yang beroperasi di Indonesia, Erani menyatakan banyak yang tidak taat peraturan.

Di bidang perminyakan saja, katanya, puluhan perusahaan yang tidak taat aturan, belum lagi perusahaan besar dan kecil yang bergerak di bidang sumber daya alam lainnya, seperti batubara, gas, alumunium, dan timah.

Erani mencontohkan di bidang pertambangan, dari sekitar 11 ribu izin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah, hanya sekitar dua ribu yang taat membayar pajak.

"Praktik-praktik seperti itu masih belum tersentuh pengusutan dari penegak hukum," ujarnya.

Oleh karena itu, ia menginginkan pemerintah atau pihak manapun tidak sampai melakukan pelemahan terhadap fungsi para penegak hukum, termasuk lembaga khusus yang menangani korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, katanya, kalau bisa, KPK harus masuk ke ranah yang merugikan negara lebih besar. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI