Menurut dia, kebijakan yang ditetapkan pemerintah diakhir tahun sepertinya merespons rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM), namun juga terkesan menjadikan pemerintah seperti bingung atas rekomendasi tim RTKM tersebut.
RON 88 memang tidak jadi dihapus. Ini merupakan ketidaksetujuan pemerintah atas rekomendasi Tim RTKM, namun pemerintah membuat kebijakan yang membingungkan yang menetapkan adanya dua harga yang berbeda pada BBM RON 88. Bahan Bakar Khusus (BBK) RON 88 ditetapkan dijual dengan sistem penugasan dengan margin kepada badan usaha penerima tugas sebesar 2 persen. Sedangkan BBM umum RON 88 dijual dengan harga plus margin badan usaha maksimal 10 persen atau dengan harga ditambah margin minimal 5 persen, sehingga memberi peluang diselewengkannya BBK ke BBU.
"Dengan contoh itu, pemerintah sepertinya terbius euphoria agar terlihat kerja dan kerja sehingga memaksakan ada perubahan strategi mulai 1 Januari 2015, kebijakan yang ditetapkan pemerintah dipenghujung tahun 2014 terkesan belum dikaji secara komprehensif, namun kelihatannya pemerintah seperti telah mengambil arah secara gegabah, yang terlihat pada kebijakan mengeluarkan 'gasoline based' dari JBT (Jenis BBM tertentu), dan melepaskannya secara halus," ujarnya.
Kebijakan pemerintah tidak mensubsidi BBM RON 88 juga dapat dinilai publik sebagai peluang yang diberikan pemerintah terhadap badan usaha swasta nasional lainnya termasuk pihak asing. Dengan kebijakan itu, pemerintah bisa dinilai publik telah melakukan kebijakan liberalisasi sektor hilir Migas dan mempercayakan pasokan BBM yang menyangkut hajat hidup orang banyak kepada badan usaha non milik negara dan pihak asing, dan itu bisa dipermasalahkan publik jika dikaitkan dengan UUD. (Antara)