Pemerintah Belum Tegas soal Pembangunan Smelter

Doddy Rosadi Suara.Com
Selasa, 30 Desember 2014 | 14:51 WIB
Pemerintah Belum Tegas soal Pembangunan Smelter
Ilustrasi: Pembangunan smelter di Konawe. (Antara/Lucky R)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah mempertegas penerapan Undang Undang Minerba, terutama soal kewajiban investor pertambangan membangun smelter.

“Sejak diterapkan UU ini awal tahun, realisasi pembangunan smelter sangat rendah,” ujar Ketua Bidang di BPP Hipmi Bahlil Lahadalia, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (30/12/2014).

Berdasarkan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah mengamanahkan, semua hasil tambang mineral mentah dilarang diekspor dan harus diolah di dalam negeri pada 2014.
 
Kata Bahlil, berdasarkan data Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Pertambangan dan Batubara, tercatat baru terdapat investasi sebesar 5 miliar dolar Amerika atau 28,57 persen dari total rencana investasi.

Data Kementrian ESDM mencatat, pemerintah telah mengeluarkan sebanyak 178 izin usaha pertambangan (IUP) per Juni 2014. Namun sampai akhir 2014, pengerjaan proyek smelter baru mencapai studi uji kelayakan sebanyak 102 izin. Sedangkan izin ground breaking konstruksi pabrik baru 12 buah. Bahkan,  hanya 25 izin masuk ke tahap commissioning atau mulai berproduksi.
 
Karena itu, Bahlil mendesak agar pemerintah lebih tegas ke investor tambang agar segera membangun smelter. Menurut dia, ketegasan ini sangat perlu sebab hilirisasi ini sangat penting untuk mengejar menurunnya kinerja industri dan manufaktur serta upaya mengatasi defisit transaksi berjalan.

“Defisit terjadi sebab ada program hilirisasi, ada ekspor bahan mentah distop. Tapi kita juga bisa mengatasi defisit transaksi berjalan ini kalau kita mampu membangun smelter secara massif dan lebih cepat,” ujar Bahlil.  
 
Data yang diolah oleh Hipmi, lanjut Bahlil, Indonesia berpeluang meraup investasi baru sebesar 10,8 miliar dolar Amerika melalui tambang mineral antara lain dari bauksit, tembaga, nikel, serta bijih besi (iron ore) dan pasir besi (iron sand).  Bahlil mencontohkan, produksi bauksit nasional sebesar 15 juta metrik ton per tahun. “Sayangnya seluruhnya masih diekspor dalam bentuk barang mentah,”
 
Menurut Bahlil, rendahnya realisasi pembangunan smelter tidak lepas dari kuatnya lobi-lobi perusahaan tambang ke pemerintah selama 2014 dan lemahnya sikap pemerintah. Akibatnya, perusahaan-perusahaan tambang dan mineral kakap justru memperoleh dispensasi ekspor barang mentah.

”Kondisi ini membuat banyak ketidakpastian pada program hilirisasi ini. Sebab itu, kami minta pemerintah tegasin saja, mau bangun atau tidak. Toh dulunya, itu mereka untungnya juga sudah banyak, mosok bangun smelter saja tidak bisa. Kita yakin pemerintah kita Jokowi-JK lebih tegas lagi,” papar Bahlil.
 
Meski demikian, Bahlil juga meminta agar segera membangun infrastruktur penunjang pembangunan smelter seperti jalan, pelabuhan, listrik, gas, telekomunikasi, dan sebagainya. “Ini tugas pemerintah membangun infrastruktur penunjang. Jangan sampai investor sudah siap, listriknya tidak ada,” tutup Bahlil.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI