Suara.com - Industri penerbangan Malaysia mengalami sejumlah tragedi sepanjang tahun ini. Tiga pesawat Malaysia hilang dan tidak ada satu pun penumpang yang selamat. Dimulai dari Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH370 pada Maret lalu.
Selang empat bulan kemudian, Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17 ditembak jatuh di wilayah udara Ukraina. Terakhir, hari Minggu lalu, pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 hilang tidak lama setelah lepas landas dari bandara Juanda, Surabaya dalam perjalanan menuju Singapura.
Tiga musibah di sepanjang tahun ini menimbulkan pertanyaan, amankah melakukan penerbangan di Asia Tenggara? Industri penerbangan di Asia Tenggara memang tengah naik daun, terutama maskapai penerbangan dengan tarif murah atau dikenal dengan istilah low cost carriers.
Meningkatkanya jumlah penumpang membuat sejumlah maskapai penerbangan melakukan ekspansi dengan cepat, bahkan bisa dikatakan terlalu cepat. Ekspansi terlalu cepat ini membuat frekwensi penerbangan semakin padat dan aturan tentang keselamatan penerbangan menjadi lemah. AirAsia merupakan salah satu maskapai penerbangan dengan tarif murah yang melakukan ekspansi besar-besaran.
Maskapai yang berdiri pada 1993 itu sudah berhasil mengalahkan Malaysia Airlines yang merupakan maskapai milik pemerintah Malaysia. AirAsia adalah maskapai pertama yang memperkenalkan skema tarif murah. Maskapai itu membuat semakin banyak orang dari berbagai macam lapisan yang bisa menggunakan moda transportasi pesawat udara.
Ekspansi besar-besaran juga dilakukan Lion Air, maskapai penerbangan dengan tarif murah di Indonesia. Pada 2013, Lion Air memesan 234 pesawat Airbus dan menambah lagi 40 unit Airbus pada bulan lalu. Sedangkan maskapai low cost carrier lainnya juga menambah rute mereka seperti Citilink, Tigerair dan Valuair.
Meningkatnya lalu lintas penerbangan di Asia Tenggara mempunyai dampak tersendiri. Semakin banyak pesawat yang diterbankan oleh pilot yang belum mempunyai jam terbang yang tinggi. Padahal, kondisi alam di Asia Tenggara masih dihuni oleh bukit, cuaca yang buruk dan juga rute yang sulit. Pilot AirAsia QZ8501 Iriyanto memang sudah mempunyai 6 ribu jam terbang.
Namun, belum ada informasi apakah dia sudah pernah terbang dengan ketinggian 34 ribu kaki atau lebih. Karena, semakin tinggi pesawat itu terbang akan semaki susah untuk dinavigasi. Sejumlah maskapai penerbangan low cost carrier mempunyai kecenderungan untuk merekrut staf yang berkualitas dan memaksa mereka untuk bekerja lebih lama. Sejumlah pilot Lion Air kedapatan mengonsumsi crystal methamphetamine yang bisa membuat mata melek terus.
Meningkatknya frekwensi penerbangan juga mempengaruhi kerja dari petugas menara kontrol, pilot da juga mekanis. Indonesia dikenal sebagai negara dengan manajemen udara yang buruk. Biaya yang dikeluarkan untuk petugas menara dan juga mekanis masih kecil.
Padahal, bertambahnya frekwensi penerbangan memerlukan tambahan petugas menara pengontrol, mekanis dan juga pilot yang terlatih untuk mengisi posisi itu. Apabila itu tidak bisa diterapkan, maka konsekuensi terburuk yang akna muncul adalah kecelakaan pesawat udara. (Businessweek)
Ini Penyebab Maraknya Kecelakaan Pesawat di Asia Tenggara
Doddy Rosadi Suara.Com
Selasa, 30 Desember 2014 | 11:31 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Inilah Aplikasi Pemesanan Perjalanan Terbaik di Asia Versi World Travel Tech Awards 2024
25 November 2024 | 14:51 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
Bisnis | 18:43 WIB
Bisnis | 18:36 WIB
Bisnis | 18:31 WIB
Bisnis | 18:20 WIB
Bisnis | 17:01 WIB
Bisnis | 16:33 WIB