Harga Pertamax Seharusnya Turun Jadi Rp8.500 per Liter

Doddy Rosadi Suara.Com
Minggu, 28 Desember 2014 | 08:41 WIB
Harga Pertamax Seharusnya Turun Jadi Rp8.500 per Liter
Pengendara mengisi bahan bakar Pertamax di SPBU Abdul Muis Jakarta. (suara.com/Kurniawan Mas'ud)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - PT Pertamina diminta untuk segera menurunkan harga jual Pertamax menyusul terus melemahnya harga minyak dunia. Pengamat perminyakan yang juga anggota DPR dari Partai Nasional Demokrat, Kurtubi mengatakan, Pertamax merupakan jenis BBM yang tidak disubsidi pemerintah sehingga arga jualnya mengikuti harga pasar.

Kata dia, anjloknya harga minyak hingga ke bawah 60 dolar Amerika per barel seharusnya segera diikuti Pertamina dengan menurunkan harga jual Pertamax yang saat ini masih sekitar Rp9.900 per liter.

“Kalau hitungan saya, harga Pertamax itu bisa dijual dengan harga Rp8.500 – Rp9.000 per liter. Karena harga Pertamax turun, sudah seharusnya pemerintah juga menurunkan harga premium yang masih menerima subsidi. Harga premium seharusnya bisa diturunkan Rp1.000 per liter,” kata Kurtubi ketika dihubungi suara.com melalui sambungan telepon, Minggu (28/12/2014).

Kurtubi mengatakan, penurunan harga premium bisa segera dilakukan dan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla bisa langsung menerapkan kebijakan subsidi tetap untuk premium. Dengan kebijakan tersebut, maka jumlah dana untuk subsidi BBM tetap meski nantinya harga minyak dunia akan kembali naik.

“Jadi kebijakan subsidi tetap itu bisa segera diterapkan. Kebijakan itu justru tidak akan lagi membuat pemerintah pusing kalau harga minyak dunia naik karena jumlahnya sudah dipatok di nominal tertentu. Kalau harga minyak dunia naik maka harga BBM subsidi bisa ikut naik namun jumlah subsidi pemerintah tetap,” jelasnya.

Kurtubi menambahkan, harga minyak dunia sulit untuk kembali naik ke posisi 100 dolar Amerika per barel apabila Arab Saudi tidak mau mengurangi produksi minyaknya. Anjloknya harga minyak dunia terjadi karena produksi yang berlebih dan sedikitnya permintaan. Arab Saudi yang merupakan anggota OPEC menolak untuk mengurangi produksi karena hal itu justru akan menguntungkan negara produsen minyak non OPEC seperti Amerika Serikat dan Rusia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI