Tiara Handycraft, Mendunia Bersama Difabel

Doddy Rosadi Suara.Com
Senin, 01 Desember 2014 | 12:00 WIB
Tiara Handycraft, Mendunia Bersama Difabel
Titik Winarti. (dok:pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pada 1995, Titik Winarti sempat bingung untuk mengisi waktu luangnya. Dia kemudian memutuskan untuk menampung barang bekas yang ada di sekitarnya di daerah Surabaya, Jawa Timur. Barang-barang bekas itu diambilnya dari pasar loak.

Setelah terkumpul, barang-barang yang sudah tidak menjadi ‘sampah’ itu dialihfungsikan. “Jadi usaha saya awalnya adalah ahli fungsi bahan daur ulang, seperti tempat selai yang sudah tidak terpakai kemudian dialihfungsikan menjadi tempat permen setelah dihias terlebih dahulu,” kata Titik, kepada suara.com, akhir pekan lalu.

Itulah awal dari Tiara Handycraft. Alih fungsi barang bekas itu menarik minat warga sekitar. Setelah satu tahun memproduksi barang-barang bekas tersebut, Titik kemudian mulai memasukkan unsur tekstil di dalam usahanya tersebut.



“Di tahun pertama saya masih kerja sendiri, baru ketika pesanan sudah mulai banyak saya akhirnya dibantu oleh dua karyawan yang berasal dari ibu-ibu PKK. Saya juga mulai mencari pasar di luar Surabaya, ketika saya ke Bali saya mampir ke sejumlah department store dan menawarkan produk Tiara Handycraft,” jelasnya.

Ketika krisis moneter dan finansial melanda, Titik mulai kebingungan. Bukan karena berkurangnya pesanan tetapi karena karyawan yang membantunya tidak kembali lagi ke Surabaya.

“Sebenarnya krismon tidak terlalu berpengaruh karena pesanan tetap ada. Karena karyawan tidak ada yang kembali, saya sempat memutuskan untuk menutup Tiara Handycraft. Ketika itulah datang sejumlah difabel yang dulu sempat ‘magang’. Mereka menawarkan diri untuk membantu,” jelasnya.

Titik sempat ragu dengan kemampuan mereka. Namun, dia akhirnya mengizinkan dua orang difabel tersebut untuk mengerjakan pesanan handycraft. Meski demikian, Titik masih ragu untuk tetap melanjutkan usaha handycraftnya itu tetapi tidak ‘berani’ untuk memberhentikan dua karyawan difabelnya itu.

“Akhirnya saya terpikir untuk memberi tugas yang berat kepada mereka yang saya pikir tidak akan bisa mereka kerjakan. Misalnya membuat payet. Ternyata, semua tugas yang saya berikan selalu bisa dikerjakan oleh mereka. Hingga akhirnya saya sadar, bahwa mereka ini ‘diberikan’ oleh Allah untuk membantu tetapi kenapa saya tidak mau menerima,” ungkapnya.

Pelan tapi pasti, Titik dan Tiara Handycraftnya semakin maju. Pangsa pasarnya juga semakin luas, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Brasil menjadi negara pertama yang menjadi tujuan ekspor produk Tiara Handycraft.



“Ekspor ke Brasil itu terjadi secara tidak sengaja, ketika tengah mempromosikan produk Tiara di Bandara Ngurah Rai, ada turis yang melihat barang tersebut. Dia suka dan kemudian meminta saya untuk membuat tas hari itu juga. Saya sempat panik karena saya kan tidak pernah terlibat proses produksi. Akhirnya, saya penuhi permintaan itu dan saya bilang tas ini tidak maksimal karena tidak pakai peralatan yang biasa saya pakai. Bagaimana kalau saya pulang dulu ke Surabaya dan saya buat lalu kalau sudah jadi langsung saya kirim ke anda,” cerita Titik.

Turis itu setuju dan puas dengan tas buatan Titik. Dia kemudian memesan tas yang dibuat dari bahan tekstil yang tidak menggunakan lem itu. Pada 2002, produk Tiara Handycraft mulai mendunia. Setelah Brasil, tas buatan para difabel itu juga diekspor ke Spanyol. Karena sudah mulai mengekspor, Titik pun menambah jumlah karyawan, yang juga difabel. Kini, Titik mempekerjakan sekitar 30 karyawan difabel.

“Mereka sudah bisa memproduksi barang-barang handycraft seperti taplak meja, lalu tutup botol, alas tisu, tas dan ketika saya membuka unit baru yaitu sablon, mereka juga bisa membuat kaos oblong,” jelasnya.

Dengan modal awal Rp500 ribu pada 1995, kini Tiara Handycraft sudah mempunyai omset 23-30 juta. Selama hampir 20 tahun, Titik memberdayakan kelompok difabel yang ternyata mempunyai nilai lebih dibandingkan karyawan normal. “Ketika masih mempekerjakan karyawan normal, saya harus turun tangan untuk memberitahu mereka satu per satu. Sedangkan karyawan difabel ternyata lebih mandiri. Mereka yang sudah bisa langsung mengajarkan temannya yang belum bisa sampai akhirnya bisa. Itu yang membuat saya tidak terlibat lagi dalam hal mengajari teknik-teknik produksi,” jelasnya.

Dengan bantuan karyawan difabel itulah, usaha Tiara Handycraft yang didirikan Titik (44 tahun) berhasil mendunia.

REKOMENDASI

TERKINI