Pasar Saham Percaya dengan Media yang Independen

Suwarjono Suara.Com
Sabtu, 08 November 2014 | 20:03 WIB
Pasar Saham Percaya dengan Media yang Independen
Anchor televisi. (Youtube)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Saat ini sejumlah media masuk Bursa Efek Jakarta (BEJ). Keberadaan media yang melantai di bursa saham ini menarik, rentan digoyang isu karena posisi media sering menjadi sorotan publik,  media dinilai tidak independen dan masih ada pendapat bahwa media susah mencari keuntungan. Benarkah?

Analis pasar modal Reza Priyambada menilai, perusahaan media yang melantai di bursa saham mesti memperhatikan kepercayaan publik pada netralitas dan independensi produk jurnalistiknya. Bila kepercayaan publik turun kebenaran berita yang dibuat, maka dapat berdampak pada turunnya harga saham. 

“Ini terlihat bagaimana saham grup VIVA atau tvOne dan MNC yang mengalami penurunan beberapa hari setelah Pilpres, karena terkait penyajian hitung cepat yang tidak akurat. Sementara saham grup SCMA atau SCTV mengalami kenaikan karena mungkin publik menganggap stasiun televisi ini lebih netral,” kata Reza dalam diskusi Investor Briefing: Demokratisasi Penyiaran untuk membangun Kepercayaan Pasar, di Restoran Dapur Sunda, seperti dirilis Aliansi Jurnalis Independen, hari ini Sabtu (8/11/2014).

Selain Reza Priyambada, diskusi menghadirkan Amir Effendi Siregar (Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran/KIDP) dan Metta Dharmasaputra (Direktur Eksekutif Katadata). Kegiatan ini diselenggarakan oleh divisi penyiaran dan new media Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia

Menurut Amir Effendi Siregar, "Orang berdebat soal independensi, menurut saya itu wajib hukumnya untuk sebuah media yang ingin profesional. Independensi juga berkaitan dengan jurnalis dan seluruh informasi harus disajikan akurat, balance dan komprehensif." Termasuk di penyiaran, seperti televisi dan radio, di mana frekwensi itu terbatas dan milik publik, sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi , apalagi kepentingan politik tertentu.

Metta Dharmasaputra menceritakan bahwa aturan media massa di beberapa negara asing lebih ketat. Misal jurnalis, khususnya bidang ekonomi, tidak boleh memiliki saham apapun, karena nanti dianggap bias. Ada pembelajaran menarik dari kasus Dow Jones Inc, ketika perusahaan ini dibeli Rupert Murdoch, ada reaksi keras dari publik terhadap independesi Dow Jones. Akhirnya perusahaan ini membuat Komite dengan menunjuk 5 orang independen. Komite inilah yang mengawasi dan memimpin perusahaan agar tetap independen. Hal begini mungkin perlu didorong di Indonesia, bila ada perusahaan media yang diragukan independensinya.

Diskusi ini akhirnya mengerucut pada kesimpulan bahwa masih ada kurang pahamnya para pelaku pasar maupun analisis pasar modal pada isu isu media. Sehingga sering kali hal hal penting dari kegiatan jurnalistik terlewatkan dalam pertimbangan. Misalnya, tidak banyak analisis pasar modal yang tahu bahwa izin frekwensi itu hanya berlaku 10 tahun sekali. Tahun 2015 ada masa akhir izin kurang lebih 10 stasiun televisi, mestinya ini akan mempengaruhi harga saham.

Di sisi lain, media jarang sekali memberitakan media lain. Ada budaya enggan untuk saling memberitakan media lain, meskipun terkait dengan pergerakan saham. Padahal budaya ini mesti hilangkan, dan para redaktur media massa mesti terbiasa untuk memberitakan media lain, yang terkait dengan kepentingan publik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI