Hukuman Penjara kepada 4 Tenaga Ahli PLN di Medan Diprotes

Doddy Rosadi Suara.Com
Rabu, 15 Oktober 2014 | 12:47 WIB
Hukuman Penjara kepada 4 Tenaga Ahli PLN di Medan Diprotes
Logo PLN bersih. (wikipedia.org)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keputusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan yang memenjarakan empat tenaga ahli PLN dalam kasus peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Tribune GT 2.1 & GT 2.2 PLTU Blok II Belawan Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2) menuai protes. Empat tenaga ahli PLN itu tidak melanggar pasal 2 UU Tipikor namun tetap dijatuhi hukuman penjara.

Aktivis Indonesia Corruption Watch, Fahmi Badoh menilai pemidanaan para tenaga ahli PLN tersebut akan berdampak buruk terhadap kondisi PLN. Semestinya, para tenaga ahli yang terbukti tidak melanggar pasal 2 UU Tipikor tersebut dilihat sebagai bagian dari upaya positif mereka dalam mengatasi krisis listrik khususnya di Medan, sehingga perlu perlakuan khusus.

Fahmi menjelaskan dalam pengadaan barang dan jasa untuk pelayanan publik perlu dilengkapi dengan landasan hukum yang khusus. Kata dia, kebijakan tersebut memerlukan tindakan cepat karena dalam kondisi darurat. “Jadi apabila langkah tersebut terlambat maka pelayanan ke publik akan terganggu. Masyarakat akan mengalami pemadaman listrik,” katanya di Jakarta, Rabu (15/10/2014).

PLN sebagai institusi yang mendapat amanat untuk menjamin keamanan pasokan listrik ke masyarakat harus dibedakan dengan institusi lain, bahkan dengan institusi swasta. Menurut Fahmi, kalau tidak mendapat landasan hukum yang kuat maka BUMN ini akan terus mengalami hal serupa. Pada akhirnya akan berdampak pada pelayanan publik yang tidak maksimal dari PLN.

“Kalau tujuannya untuk meminimalisir praktik korupsi dalam setiap pengadaan barang dan jasa di PLN, maka bisa dilakukan secara transparan. PLN setiap ada rencana pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan pelayanan publik, harus dipaparkan secara jelas ke publik. Dengan demikian semua pihak termasuk penegak hukum bahwa kebijakan yang dilakukan PLN untuk mengatasi kondisi darurat,” ujarnya.

Hal ini bersamaan dengan rencana KPK yang akan melakukan sertifikasi terhadap penyedia barang dan jasa yang kredibel untuk institusi pemerintah maupun BUMN. “Kalau tidak, maka khususnya PLN akan selalu menghadapi hal yang sama,” jelas Fahmi.

Munculnya kasus-kasus pemidanaan oleh para tenaga ahli PLN juga mengundang komentar Wakil Presiden (terpilih) Jusuf Kalla. Menurut JK, tidak selayaknya orang yang membuat kebijakan dipidanakan.

"Sekarang itu orang banyak yang takut, takut dipenjara karena mengeluarkan kebijakan," ujarnya, di acara National Conference on Electrical Power Business & Technology, beberapa waktu lalu.

Jusuf Kalla menegaskan, sejumlah mantan pejabat PLN yang di Belawan, Medan, tidak tepat dipenjara karena kebijakannya. Sebagai bentuk protesnya, Jusuf Kalla mengaku sudah memberi masukan perihal tersebut kepada jaksa.

"Saya bilang, jangan kau penjarakan orang yang buat kebijakan, tapi ya sudah lah (sudah diputus bersalah)," ujarnya.

Empat orang mantan pejabat PLN dan dua rekanan PLN divonis bersalah dalam kelalaian administratif Pembangkit Listrik Tenaga Gas/Uap (PLTGU). Hakim menjatuhkan hukuman satu setengah tahun hingga empat tahun penjara karena dianggap lalai tidak melaksanakan aturan Berita Acara pada pembayaran tahap kedua dan ketiga kepada Mapna Co sebagai kontraktor pekerjaan LTE PLTGU Belawan.

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan menyatakan tenaga ahli PLN yang dijadikan terdakwa dalam perkara peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2), tidak terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 2 UU Tipikor.

Penegasan tersebut dinyatakan Ketua Majelis Hakim S.B. Hutagalung, saat membacakan keputusan vonis kepada terdakwa Chris Leo Manggala, di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (1/10/2014). Selain Chris Leo, dua terdakwa lain yang dibacakan vonisnya pada hari yang sama adalah Muhammad Ali dan Surya Dharma Sinaga. Sedangkan terdakwa lain yakni, Rody Cahyawan, Supra Dekanto dan M. Bahalwan menerima vonis pada hari Jumat (3/10/2014).

Menurut Hutagalung, dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Dengan menggunakan Pasal 2 tersebut, jaksa menuduh terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang dapat merugikan negara dan memperkaya orang lain atau suatu korporasi seperti dakwaan primer Jaksa.

"Setelah mempertimbangkan fakta dan bukti-bukti di persidangan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti melanggar dakwaan primer sesuai Pasal 2 tersebut, dan membebaskan terdakwa dari dakwaan primer,” tandas Hutagalung.

Menurut Majelis Hakim, dalam perkara LTE, juga tidak terbukti ada kerugian negara yang timbul sesuai perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hutagalung menegaskan, Majelis berpendapat bahwa BPKP bukan lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara, melainkan tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI