Suara.com - Pelarangan penjualan premium di jalan tol oleh BPH Migas sebagai langkah pengendalian BBM bersubsidi dinilai telah merugikan para pengusaha "rest area” atau tempat peristirahatan pelayanan jalan tol sebesar Rp350 juta per hari.
"Kerugian kami itu pada dua sisi yaitu penjualan BBM dan bisnis kuliner, setiap hari total kami merugi sekitar Rp350 juta dari total 29 rest area di Indonesia," kata Kepala Bidang Asosiasi Pengusaha Tempat Istirahat Pelayanan Jalan Tol Indonesia (APTIPINDO) Biswanto ketika mengadukan masalah tersebut ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, Kamis, (11/9/2014).
Menurut dia, pembatasan premium di jalan tol sama sekali tidak efektif dan dinilai hanya merugikan kalangan pemilik usaha di dalam jalan tol tapi menguntungkan penjual atau SPBU di luar tol.
Biswanto menjelaskan, dia dan pengusaha lainnya memiliki tanggung jawab yang besar untuk melayani masyarakat yang singgah di tempat peristirahatan.
"Kita selalu melakukan pemeliharaan infrastruktur yang baik sebagai pelayanan publik, sementara ongkos dan investasi uang yang diperlukan untuk pemeliharaan itu sangat besar," katanya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal APTIPINDO Ali Sholihin bahwa setelah kebijakan tersebut diberlakukan pendapatan dari setiap tempat peristirahatan turun hingga 50 persen dengan biaya perawatan pelayanan yang tetap.
Menurut dia, biaya perawatan jalan di dalam rest area bisa menghabiskan Rp2 miliar per tahun, dan biaya listrik mencapai Rp300 juta per bulan.
"Kita tidak bisa larang truk yang beratnya mungkin 100 hingga 150 ton masuk, apakah kita bisa mengharuskan pengunjung makan atau mengisi BBM? kan tidak, itu resiko kita tapi kita punya komitmen pelayanan harus bagus," katanya.
Sementara itu, Plt Deputi Bidang Pencegahan dan Direktur DIrektorat dan Pengkajian, Kebijakan Advokasi KPPU Taufik Ahmad selaku penerima pengaduan mengatakan akan menganalisa kebijakan tersebut dari perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan.
Menurut dia, jika kebijakan BPH Migas tersebut bertentangan maka pihaknya akan memberikan rekomendasi ke pemerintah untuk merevisi atau mencabut pelarangan tersebut. (Antara)