Suara.com - Pemerintah baru nanti diharapkan berani mengambil risiko menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi sehingga memunculkan harapan postur APBN menjadi lebih sehat.
Hal itu dikatakan Ekonom Universitas Gajah Mada Tony Prasetiantono yang juga Komisaris Independen Bank Permata Tbk dalam seminar bertajuk "Peluang dan Prediksi Global Market Pasca Pemilu" di Jakarta, Rabu (3/9/2014).
"Anggaran subsidi energi kita, termasuk BBM dan listrik sudah sangat membebani APBN. Risikonya, fiskal kita tidak mempunyai ruang untuk melakukan stimulus," ujarnya.
Ia mengemukakan bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibutuhkan stimulus fiskal dengan meningkatkan alokasi belanja di sektor produktif salah satunya dengan menggenjot pembangunan infrastruktur.
"Ketika terjadi krisis maka pemerintah harus mendorong stimulus salah satunya dengan memperbanyak proyek infrastruktur," katanya.
Menurut Tony Prasetiantono, jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM subsidi maka beban APBN akan semakin membesar dan kuota BBM bersubsidi tahun ini sebanyak 46 juta kilo liter akan terlampaui akibatnya pembangunan infrastruktur akan tertahan dan ekonomi bisa melemah.
Selain itu, lanjut dia, membesarnya defisit APBN akan membuat investor asing menganggap Indonesia tidak kredibel dalam mengatur anggarannya. Situasi itu akan menahan dana asing masuk ke dalam negeriv menjadi tertahan.
"APBN kita akan dianggap tidak kredibel oleh investor asing, nantinya mereka bisa tidak mau masuk ke Indonesia dan tidak ada lagi dana asing masuk atau 'capital inflow'," ucapnya.
Ia menambahkan bahwa untuk menjaga postur APBN menjadi sehat, presiden terpilih nanti memiliki dua momentum untuk menaikkan harga BBM bersubsidi yakni pada pada November 2014 atau menunggu inflasi rendah yakni pada Maret 2015. (Antara)