Suara.com - Analis internasional mulai mengkhawatirkan defisit anggaran Indonesia akan terus membesar. Morgan Stanley sudah merevisi defisit anggaran Indonesia dari 2,7 persen menjadi 3,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Citigroup yang merevisi defisit anggaran Inonesia dari 2,5 persen menjadi 3,15 persen dari PDB. Melonjaknya defisit anggaran karena impor energi yang semakin besar.
“Defisit anggaran akan semakin sempit karena larangan sejumlah ekspor mineral sudah dicabut namun proses pemulihan tidak akan berlangsung cepat,” kata Sean Yokota, analis dari konsultan keuangan Swedia, SEB AB.
Sejumlah analis juga meminta presiden terpilih Joko Widodo untuk tidak mengulangi kesalahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun lalu. Ketika itu, SBY baru menaikkan harga BBM subsisi pada Juni setelah “dihukum” oleh investor asing dengan melemahnya rupiah.
Dengan keputusan Bank Sentral Amerika yang belum akan menaikkan tingkat suku bunga dalam waktu dekat, kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM harus dipertimbangkan dengan hati-hati.
“Isu ini akan menimbulkan badai yang sempurna yang bisa bersinkronisasi dengan inflasi, rupiah dan juga modal asing yang kita lihat terjadi pada Juni-Agustus 2013,” kata David Sumual, ekonom dari BCA.
Besarnya alokasi subsidi BBM yang mencapai lebih dari Rp300 triliun membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini juga membuat pembangunan terhambat karena besarnya dana untuk subsidi BBM. Jokowi sempat meminta pemerintahan SBY-Boediono agar menaikkan BBM subsidi sebelum dia menjalankan tugas sebagai Presiden.
Namun, Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan, keputusan untuk menaikkan harga BBM subsidi ada di tangan pemerintahan baru. Jokowi dan Jusuf Kalla akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober nanti. (AsiaOne)