Suara.com - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dinilai perlu menerapkan pajak progresif terhadap konsumen properti, sebagai salah satu upaya mendongkrak realisasi penerimaan pajak.
Hal itu dikatakan pengamat ekonomi Enny Sri Hartati dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Senin (25/8/2014).
"Banyak konsumen yang membeli rumah bukan sebagai rumah hunian, namun juga investasi. Ini bisa menjadi langkah untuk optimalisasi (penerimaan pajak)," katanya.
Enny berpendapat hal tersebut dapat menjadi salah satu upaya pemerintah agar tidak melulu mengandalkan sektor-sektor tradisional seperti pertambangan dan komoditas dalam meningkatkan penerimaan pajak pada tahun-tahun mendatang.
Menurut dia, penerapan pajak progresif pada sektor properti, juga dapat membantu perbankan untuk mengerem permintaan kredit kepemilikan rumah yang terus meningkat.
Enny menilai permintaan kredit KPR yang terus meningkat lebih banyak didasari motif konsumen yang ingin berinvestasi. Akibatnya, kata dia, terjadi ketimpangan kepemilikan rumah, antara masyarakat menengah ke bawah, menengah dan menengah ke atas.
"Masyarakat mampu ini membeli rumah lebih dari satu untuk investasi. Sedangkan yang benar-benar butuh rumah hunian malah banyak yang tidak kebagian," ungkapnya.
Maka dari itu, kata dia, penerapan pajak progresif pada properti dapat membatasi kepemilikan rumah oleh konsumen mampu bermotif berinvestasi.
Dengan demikian, ujar dia, masyarakat menengah ke bawah jadi memiliki kesempatan lebih besar untuk mengajukan kredit pembiayaan rumah ke perbankan.
"Ini juga dapat membantu persoalan rasio kepemilikan rumah yang masih sangat timpang. Dari ratusan juta masyarakat, sedikit yang sudah punya rumah," kata dia.
Pajak progresif merupakan tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik seiring semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan. (Antara)