Suara.com - Pemerintah diminta untuk memprioritaskan produksi gas untuk kebutuhan dalam negeri. Wakil Direktur Reforminer Instititute Komaidi Notonegor mengatakan, kebutuhan gas di dalam negeri akan terus meningkat seiring dengan mulai akan dikuranginya penggunaan BBM.
Kata dia, selama ini sejumlah perusahaan seperti Pertamina mengimpor gas karena harga gas di dalam negeri yang terlalu mahal. Padahal, Indonesia memproduksi gas dalam jumlah besar yang sebagian besar justru diekspor ke luar negeri.
“Untuk kontrak gas yang sudah berjalan dengan negara lain, mungkin tidak ada yang bisa dilakukan. Tetapi, untuk kontrak gas di masa yang akan datang, pemerintah seharusnya mendahulukan kebutuhan gas dalam negeri dahulu sebelum diekspor. Meski harga jualnya mungkin tidak semahal dibandingkan ekspor, dampak dari penjualan gas ke dalam negeri mempunyai pengaruh yang banyak,” kata Komaidi kepada suara.com melalui sambungan telepon, Selasa (1/7/2014).
Menurut dia, penyaluran gas kepada industri di dalam negeri akan menggerakkan perekonomian. Efek beruntun dari penyaluran gas di dalam negeri antara lain bisa menggerakkan perekonomian masyarakat.
Dia berharap pemerintah mengubah pola pikir yaitu menghitung selisih antara harga gas yang dijual untuk ekspor daripada ke dalam negeri. Kata dia, produksi gas sebaiknya difokuskan ke dalam negeri terlebih dahulu baru sisanya diekspor.
Kemarin, pemerintah sepakat untuk merevisi harga jual gas Tangguh ke Cina. Kenaikan harga dari 3,3 dolar Amerika per MMBTU menjadi 8,65 dolar Amerika per MMBTU membuat Indonesia meraih tambahan pemasukan antara Rp10-12 triliun per tahun. Tahun depan, harga jual gas Tangguh ke Cina akan naik menjadi 10 dolar Amerika per MMBTU.