Suara.com - Presiden terpilih didesak untuk melakukan optimalisasi peran perbankan dalam mendukung sektor pertanian dan infrastruktur. Pengamat pembangunan nasional Syahrial Loetan mengatakan, langkah ini menjadi solusi terbaik dalam menyatakan keberpihakan pemerintah terhadap kedua sektor tersebut, dibanding dengan pembentukan bank baru yang khusus menangani kedua sektor potensial tersebut.
“Dari sisi perencanaan pembangunan nasional, saya mengusulkan bahkan bisa disebut mendesak presiden terpilih nantinya, untuk mengoptimalkan saja peran perbankan pemerintah yang ada saat ini. Jangan malah menambah jumlah perbankan baru,” ujar dia, dalam surat elektronik yang diterima suara.com, Kamis (26/6/2014).
Menurut dia, terdapat beberapa kelemahan dan tantangan besar yang akan dihadapi pemerintah dengan rencana pembentukan bank baru khusus pertanian dan infrastruktur.
Pertama, upaya membangun bank baru membutuhkan usaha yang banyak dan tentunya tidak mudah. Apalagi periode sang presiden hanya 5 tahun. Sehingga usaha yang dilakukan dengan periode waktu pemerintahan yang diemban sang presiden, menjadi sulit untuk dievaluasi.
Kata dia, monitoring dan evaluasi terhadap efektifitas kebijakan itu, membutuhkan waktu di atas 5 tahun.
Kedua, pembentukan bank baru khusus pertanian dan infrastruktur juga harus memfokuskan diri dalam menuntaskan berbagai permasalahan kebijakan yang kerap mempersulit petani memperoleh kredit bagi peningkatan usahanya.
“Pada bagian ini, presiden terpilih dapat memerintahkan perbankan pemerintah untuk fokus memberikan kredit sesuai kebutuhan petani dan investor di sektor infrastruktur. Intinya, melalui check and balancing yang proper maka seharusnyalah pertanian dan infrastruktur Indonesia dapat dikembangkan optimal,” jelasnya.
Ketiga, pembentukan bank baru khusus pertanian dan infrastruktur harus memerhatikan faktor-faktor pendukung lainnya. Seperti masalah pembebasan lahan pada sektor infrastruktur dan aturan kebijakan lain yang acapkali berubah pada kurun waktu tertentu, seperti tarif jalan tol dan sarana irigasi serta pengairan.
“Serta faktor birokrasi dan perijinan yang kerap sulit dipastikan waktu dan besar biaya yang harus dikeluarkan. Artinya, meski masalah birokrasi ada di tangan pemerintah sebagai regulator, namun praktik-praktik high cost economy selalu menghantui iklim investasi di Indonesia,” papar Syahrial.