Suara.com - Enam bulan lalu, elektabilitas Joko Widodo unggul 40 persen dibandingkan kandidat calon presiden lain. Kini, tiga minggu sebelum pemilu presiden digelar, elektabilitas Joko Widodo terus menurun dan hanya unggul 6 persen atas Prabowo Subianto. Padahal, bulan lalu Jokowi masih unggul 13 persen atas capres dari Partai Gerindra tersebut.
Menurunnya elektabilitas Joko Widodo membuat investor mulai khawatir. Beberapa waktu lalu, survei yang dilakukan Deutsche Bank menyebut, 56 persen investor akan menjual aset apabila Prabowo keluar sebagai pemenang dalam pemilu presiden. Sedangkan jika pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menang, maka sebanyak 74 persen investor yang disurvei akan membeli aset Indonesia.
“Apa yang dilakukan Prabowo adalah memberikan kesan negatif terhadap Jokowi. Mereka (Prabowo dan timnya-red) berhasil membuat Jokowi dalam posisi yang defensive,” kata Douglas E. Ramage, kepala penasihat bisnis Bower Group Asia, di Jakarta.
Kampanye yang dilakukan Prabowo dinilai berhasil mengalahkan imej Jokowi sebagai sosok yang paling tepat menjadi Presiden. Prabowo menggambarkan dirinya sebagai pemimpin yagn kuat dan punya aliansi politik untuk meraih suara.
Menurunnya elektabilitas Jokowi direspon pasar dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Investor selama ini menilai Jokowi sebagai kandidat yang pro pasar dan fokus dalam pembangunan infrastruktur ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Menteri Keuangan Chatib Basri juga mengakui adanya kecemasan investor terkait pemilu presiden. “Mereka ingin tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kekhawatiran itu akan terus berlangsung sampai Indonesia mempunyai Presiden yang baru. (Bloomberg)