Suara.com - Tertundanya pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, di Jawa Tengah, diperkirakan merugikan negara hingga mencapai Rp9 triliun per tahun. Pengamat Pembangunan Nasional Syahrial Loetan mengungkapkan, PLTU Batang direncanakan akan beroperasi pada akhir tahun 2016 yang akan memasok cadangan listrik Jawa dan Bali sebesar 30%.
“Kerugian negara itu bahkan bisa mencapai diatas Rp 9 triliun, jika memperhitungkan dampak kerugiannya terhadap tenaga kerja yang tidak terserap,” ujar dia, dalam surat elektronik yang diterima suara.com, Senin (2/6/2014).
Ia menjelaskan bahwa pembangunan PLTU Batang 2x1.000 megawatt (MW) disepakati dengan menggunakan Skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau skema Public Private Partnership (PPP). Karena itu, pembangunannya merupakan proyek percontohan pembangunan infrastruktur dengan skema KPS/PPP yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 67/2010.
Menurut dia, penandatanganan konsesi telah dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2011 dan direncanakan dapat melakukan financial closing pada Oktober 2012. Namun, hingga kini perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) antara PT PLN (Persero) dengan pihak pengembang listrik swasta PT Bhimasena Power Indonesia, telah diperpanjang 2 kali.
“Upaya perpanjangan PPA yang kedua itu dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Perpres 66/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur,” jelas Syahrial.
Syahrial mengatakan, terkait perpanjangan kedua yang sudah memperhitungkan perubahan commercial operasional date (COD) proyek-proyek pembangkit termasuk Central Java Power Plant (CJPP), mengakibatkan terjadinya perubahan fuel mix di sistem kelistrikan Jawa Bali. Karena itu, sedikitnya dampak kerugian negara mencapai Rp 9 triliun, yang terdiri dari 3 faktor berikut.
Pertama, dari kontribusi batubara yang ditargetkan sebanyak 70% pada tahun 2017, berkurang menjadi 67%. Penurunan kontribusi batubara tersebut diambil alih oleh bahan bakar gas, sehingga terjadi peningkatan pemakaian bahan bakar gas dari 11% menjadi 17%. Hal ini meningkatkan biaya pembangkitan yang lebih tinggi.
Artinya, jika dibandingkan biaya pembelian tenaga listrik selama 1 tahun dari CJPP dengan biaya pokok penyediaan tenaga listrik sistem Jawa Bali di tahun 2013, maka anggarannya lebih rendah Rp 4,5 triliun jika menggunakan listrik dari CJPP.
Kedua, potensi kerugian juga terjadi akibat penundaan pelaksanaan proyek PLTU Batang karena adanya eskalasi harga pada bahan konstruksi dan harga tanah. Eskalasi harga diperkirakan mencapai 10%, sehingga secara total bisa mencapai angka Rp 4,5 triliun.
Ketiga, kerugian juga terjadi sebagai dampak multiplier effects akibat tidak terserapnya tenaga kerja sebanyak 3.000 orang sejak tahap konstruksi hingga proyek selesai. Tenggat waktu pembangunannya diperkirakan selama 4 tahun.
“Jadi, terlalu banyak kerugian negara yang bakal terjadi dengan penundaan pembangunan proyek PLTU Batang itu. Saya yakin, pemerintahan baru yang akan terpilih nantinya, mampu menyelesaikan dan menuntaskan permasalahan pembangunan PLTU Batang tersebut bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebab, proyek infrastruktur ini bakal menjadi sumber tenaga listrik bagi 30% kebutuhan listrik di Jawa-Bali pada 2016 mendatang,” papar Syahrial.